Menyikapi Tarif Trump dengan Optimalisasi Asuransi Kredit Perdagangan

Marah Kerma Mardame Manurung
Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute
FORUM KEADILAN – Sekalipun Donald Trump telah mengumumkan jeda atas tarif tinggi yang dikenakan kepada berbagai negara, kebijakan proteksionis yang ia tempuh tetap menjadi peringatan bagi negara-negara mitra dagang Amerika Serikat (AS), termasuk Indonesia.
Penerapan tarif tinggi terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia memberi konsekuensi yang tidak kecil. Eksportir kita kini menghadapi tantangan serius. Beban tarif tersebut membuat produk Indonesia kehilangan daya saing di pasar AS. Imbasnya jelas, volume perdagangan ke negara tersebut akan menurun. Sementara, pelaku usaha harus berpacu dengan waktu untuk mencari alternatif pasar, agar ekspor tetap berjalan dan berkelanjutan.
Nilai ekspor Indonesia ke AS melonjak hampir 48 persen dalam lima tahun terakhir (2019–2024), dari USD17,84 miliar menjadi USD26,31 miliar. Bahkan pada Januari–Februari 2025 saja, ekspor Indonesia ke AS telah mencapai USD4,67 miliar, naik 14 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Ini menunjukkan betapa strategisnya pasar Amerika bagi Indonesia, namun juga menggambarkan tingginya tingkat ketergantungan. Ketika satu kebijakan dagang diberlakukan sepihak oleh AS, dampaknya terasa langsung di lini bawah rantai pasok nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, sembilan komoditas ekspor Indonesia yang paling berpotensi terdampak tarif AS antara lain: mesin dan perlengkapan elektrik (USD4,18 miliar), pakaian rajutan (USD2,48 miliar), alas kaki (USD2,39 miliar), pakaian non-rajutan (USD2,1 miliar), lemak dan minyak hewani/nabati (USD1,78 miliar), karet dan produk karet (USD1,68 miliar), perabotan dan alat penerangan (USD1,43 miliar), ikan dan udang (USD1,09 miliar), serta mesin dan peralatan mekanis (USD1,01 miliar). Bila ditambah dengan komoditas lain seperti olahan daging, kopi dan teh, produk kayu, serta kendaraan bermotor (USD2,87 miliar), potensi ekspor yang terdampak kian signifikan.
Realitas ini menuntut langkah strategis dan sistemik dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, dunia usaha, serta penyedia layanan keuangan dan asuransi.
Salah satu instrumen yang saat ini masih belum dimaksimalkan secara optimal adalah Polis Asuransi Kredit Perdagangan. Instrumen ini memberikan perlindungan kepada eksportir dari risiko tidak diterimanya pelunasan tagihan ekspor dari pembeli di luar negeri akibat risiko komersial (seperti kebangkrutan, wanprestasi, atau penolakan barang), maupun risiko politik (pembatasan devisa, pelarangan impor, perang/revolusi/kekacauan atau pemberontakan di negara importir).
Asuransi kredit perdagangan memberikan rasa aman dan kepastian arus kas bagi eksportir. Ketika risiko pembayaran dapat dialihkan kepada perusahaan asuransi, eksportir memiliki keberanian lebih besar untuk menembus pasar baru yang sebelumnya dianggap berisiko tinggi. Dalam konteks saat ini, diversifikasi pasar bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Konsentrasi ekspor Indonesia yang tinggi ke AS dan Tiongkok perlu segera diseimbangkan dengan penetrasi pasar ke kawasan lain seperti Afrika, Asia Selatan, Eropa Timur, dan Amerika Latin.
Presiden Prabowo Subianto dalam sejumlah kesempatan menyampaikan perlunya Indonesia mengeksplorasi pasar ekspor non-tradisional. Negara-negara di Afrika disebut sebagai pasar masa depan karena memiliki kebutuhan tinggi terhadap produk-produk Indonesia seperti tekstil, makanan olahan, dan alat berat. Namun pasar-pasar tersebut sering kali diiringi risiko politik, hukum, dan stabilitas ekonomi yang tidak menentu. Di titik inilah, polis asuransi kredit perdagangan menjadi instrumen mitigasi risiko yang paling masuk akal dan strategis.
Lebih dari sekadar pelindung finansial, perusahaan penyedia polis asuransi kredit perdagangan juga berperan sebagai mitra ekspor. Mereka melakukan evaluasi kelayakan kredit pembeli (importir), pemantauan risiko negara, dan menyediakan informasi pasar. Bahkan dalam banyak kasus, mereka membantu eksportir menagih piutang yang macet, atau mengelola proses klaim ketika terjadi gagal bayar. Peran mereka sangat penting untuk menciptakan ekosistem ekspor yang lebih aman dan berkelanjutan.
Tantangan utama saat ini adalah masih rendahnya literasi dan penetrasi produk asuransi ini di kalangan pelaku usaha. Banyak pelaku ekspor tidak mengetahui atau memahami bahwa risiko gagal bayar bisa ditanggung asuransi, dan lebih memilih menahan ekspansi ke pasar baru karena ketakutan terhadap risiko. Untuk itu, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, sektor asuransi untuk memperluas edukasi dan akses terhadap polis ini. Program pendampingan teknis, digitalisasi layanan asuransi, pemberian insentif seperti subsidi premi, tentu akan sangat membantu meningkatkan layanan.
Ketahanan perdagangan Indonesia ke depan ditentukan oleh seberapa responsif kita menyiapkan instrumen-instrumen pendukung bagi pelaku usaha. Ketika tarif tinggi datang dari mitra dagang utama, respons kita tak boleh hanya menunggu negosiasi selesai. Kita harus aktif menciptakan sistem perlindungan, keberanian melakukan ekspansi, dan keberlanjutan transaksi. Di tengah dinamika perdagangan global yang tak menentu, Asuransi kredit perdagangan bukan sekadar solusi, tetapi bisa menjadi fondasi dari strategi ekspor yang tahan banting. Di sinilah asuransi kredit perdagangan tidak sekadar jadi tameng, tetapi katalisator dan keberanian menjelajah pasar global secara lebih merata dan berkelanjutan.*