Empat Pulau, Banyak Spekulasi

Dr Kemal H Simanjuntak
Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).
FORUM KEADILAN – Keputusan pemerintah yang menetapkan empat pulau kecil—Pulau Panjang, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan—sebagai bagian wilayah Aceh boleh jadi akan mengakhiri sengketa administratif yang telah berlangsung bertahun-tahun antara Aceh dengan Sumatera Utara. Namun, di balik kemenangan politik Aceh, keputusan ini justru membuka pertanyaan mendasar tentang konsistensi kebijakan pemerintah dan kesiapan tata kelola nasional menghadapi tantangan baru.
Konflik kepemilikan keempat pulau ini sebenarnya bukan isu baru. Sejak era Orde Baru, perbedaan interpretasi batas administratif antara kedua provinsi telah menjadi isu yang mengambang. Aceh berargumen berdasarkan UU No. 24/1956 tentang pembentukan daerah-daerah otonom, sementara Sumatera Utara merujuk pada dokumen administratif yang lebih baru.
Namun, sengketa yang semula bersifat administratif dan akademis ini tiba-tiba memanas ketika Mubadala Energy dan Harbour Energy mengumumkan temuan signifikan di Blok South Andaman pada 2022. Sumur Tangkulo-1 diperkirakan mengandung dua triliun kaki kubik gas alam dan mampu memproduksi 1.000 barel minyak per hari. Dengan proyeksi mulai produksi 2028, potensi pendapatan mencapai miliaran dolar selama masa kontrak.
Di sinilah letak masalahnya. Berdasarkan UNCLOS 1982, kepemilikan pulau menentukan klaim atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) hingga 200 mil laut. Sebagai daerah otonomi khusus, Aceh berhak mendapat 70% dari bagian pemerintah pusat. Ini berbeda dengan Sumatera Utara yang hanya 30%. Selisih 40% dari triliunan rupiah tentu bukan angka yang bisa diabaikan.
Keputusan Presiden yang mengabulkan klaim Aceh, meski secara hukum dapat dibenarkan, menunjukkan pola yang mengkhawatirkan dalam pengambilan keputusan strategis nasional. Pemerintah terkesan reaktif terhadap tekanan politik dan ekonomi jangka pendek, alih-alih berpegang pada kerangka kebijakan yang konsisten dan dapat diprediksi.
Pemerintahan memang suka menunjukkan pola kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu singkat, terutama saat menghadapi tekanan publik. Tidak hanya dalam kasus empat pulau, di urusan lain juga begitu. Kenaikan PPN dari 11% ke 12% “dimodifikasi jadi seperti batal” secara mendadak sesaat sebelum berlaku. Pembatasan penjualan elpiji 3 kg hanya bertahan empat hari.
Di Raja Ampat, izin tambang di wilayah konservasi dikoreksi setelah muncul kecaman publik. Bahkan dalam hal efisiensi anggaran, Inpres awal yang mengecualikan beberapa lembaga diubah dalam dua hari agar berlaku menyeluruh. Bergabungnya Indonesia ke BRICS juga disertai arah kebijakan luar negeri yang tidak konsisten dan membingungkan. Seluruh perubahan ini menunjukkan kecenderungan reaktif dan minim perencanaan jangka panjang.
Pola ini menciptakan ketidakpastian bagi investor dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Jika batas wilayah administratif bisa berubah karena tekanan politik dan ekonomi, apa jaminan bahwa kebijakan terkait kontrak, perpajakan, atau regulasi lainnya tidak akan berubah di tengah jalan? Ketidakpastian ini pada akhirnya akan meningkatkan premi risiko dalam investasi dan mengurangi daya saing Indonesia di mata investor global. Spekulasi seolah bertebaran dalam iklim investasi di negeri ini.
Keputusan ini juga riskan menciptakan preseden berbahaya bagi pengelolaan sumber daya nasional. Daerah-daerah lain yang memiliki sengketa batas wilayah dengan potensi ekonomi besar akan tergoda untuk menggunakan “taktik Aceh”: kombinasi tekanan politik, narasi historis, dan leverage khusus untuk mempengaruhi keputusan pusat.
Kemenangan administratif Aceh kini menghadirkan tantangan tata kelola yang kompleks. Bagaimana memastikan transparansi dalam pengelolaan pendapatan migas yang akan datang? Aceh memiliki jejak rekam yang beragam dalam pengelolaan dana otonomi khusus, dengan berbagai kasus korupsi dan inefisiensi yang masih membekas di ingatan publik.
Diperlukan kerangka kerja kepatuhan yang ketat untuk memastikan bahwa pendapatan migas digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan elite politik. Sistem pemantauan dan evaluasi yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga independen menjadi keharusan, bukan pilihan.
Manajemen risiko juga harus menjadi prioritas utama. Ketergantungan berlebihan pada satu sektor dapat menciptakan “kutukan sumber daya” yang telah dialami banyak daerah kaya sumber daya namun miskin dalam pembangunan manusia. Diversifikasi ekonomi dan investasi jangka panjang dalam pendidikan, infrastruktur, dan inovasi harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan.
Yang lebih ironis adalah fakta bahwa sementara Indonesia sibuk memperdebatkan siapa mendapat berapa persen, kontrol operasional tetap berada di tangan perusahaan asing. Mubadala Energy dan Harbour Energy menguasai teknologi, modal, dan keahlian yang tidak dimiliki BUMN seperti Pertamina. Ini menunjukkan lemahnya kedaulatan energi nasional dan ketergantungan berlebihan pada investor asing.
Keputusan pemberian keempat pulau kepada Aceh juga menghadirkan tantangan geopolitik baru. Posisi strategis pulau-pulau tersebut di jalur pelayaran internasional Selat Malaka membutuhkan pengelolaan keamanan yang canggih. Aceh harus siap menghadapi kompleksitas mulai dari penangkapan ikan ilegal, penyelundupan, hingga potensi konflik teritorial dengan negara tetangga.
Untuk memastikan keberhasilan pengelolaan keempat pulau ini, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama. Seluruh kontrak, kesepakatan, dan alur pendapatan harus dapat diakses publik. Sistem pelaporan berkala yang melibatkan audit independen menjadi keharusan.
Pembentukan komite pengawas yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan representasi masyarakat diperlukan untuk memastikan checks and balances dalam pengambilan keputusan. Pengembangan rencana induk 20-30 tahun yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, termasuk strategi diversifikasi ekonomi pasca-migas, juga tidak bisa ditunda.
Keputusan memberikan keempat pulau kepada Aceh mungkin secara politik dapat dibenarkan, namun ia juga membuka pertanyaan besar tentang konsistensi kebijakan nasional dan kesiapan tata kelola Indonesia menghadapi kompleksitas abad 21.
Tantangan sesungguhnya bukan pada siapa yang memiliki pulau tersebut, melainkan bagaimana memastikan bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalamnya benar-benar menjadi berkah bagi kesejahteraan rakyat, bukan kutukan yang memperdalam ketimpangan dan korupsi. Aceh kini memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa otonomi khusus bukan sekadar hak istimewa, melainkan tanggung jawab untuk menciptakan model tata kelola yang dapat menjadi contoh bagi daerah lain.
Keberhasilan atau kegagalan Aceh dalam mengelola anugerah ini akan menjadi pelajaran berharga—bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara berkembang lainnya yang bergulat dengan dilema serupa antara kedaulatan daerah dan kepentingan nasional. Empat pulau kecil yang nyaris tak berpenghuni itu kini menjadi cermin besar bagi republik ini, tempat kita bercermin tentang masa depan pengelolaan sumber daya dan seberapa serius kita menjaga janji kesejahteraan yang tertulis dalam konstitusi.*