Dr Kemal H Simanjuntak
Konsultan Manajemen/GRC Expert
FORUM KEADILAN – Memasuki paruh pertama 2025, Undang-Undang BUMN Nomor 1 Tahun 2025 terus menuai kritik tajam, khususnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu sorotan utamanya adalah Pasal 9F yang mengatur prinsip Business Judgment Rule (BJR). Kekhawatannya bukan tanpa alasan, aturan ini berpotensi menjadi celah impunitas bagi direksi BUMN jika tidak disertai batasan yang jelas, terutama ketika keputusan bisnis disalahgunakan untuk menutupi tindak pidana korupsi.
Prinsip BJR sebenarnya lazim di berbagai negara. Ia memberikan perlindungan hukum kepada direksi dan eksekutif ketika mengambil keputusan bisnis, selama dilakukan dengan iktikad baik, informasi yang memadai, dan pertimbangan rasional. Gagasan dasarnya: tidak semua keputusan bisnis menghasilkan keberhasilan, namun selama prosedur diikuti secara wajar, maka tidak semestinya ada sanksi pidana atau perdata.
Dalam sistem hukum Amerika Serikat, prinsip ini ditegaskan dalam kasus Aronson v. Lewis (1984), dan bahkan telah muncul sejak Dodge v. Ford Motor Co. (1919). Di Indonesia, sebagai negara civil law, prinsip ini mulai mendapatkan pijakan melalui doktrin dan yurisprudensi, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XVII/2019, yang menegaskan bahwa direksi yang bertindak dengan itikad baik tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan di kemudian hari.
Namun, konteks Indonesia menghadirkan tantangan berbeda. Dengan skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi versi Transparency International (2024), dan peringkat ke-115 dari 180 negara, praktik korupsi masih menjadi masalah struktural. Laporan ICW 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen kasus korupsi terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa—area yang sering dibungkus narasi keputusan strategis.
Kasus Jiwasraya dan Asabri memberikan pelajaran pahit. Di atas kertas, keputusan investasi tampak sah. Namun investigasi hukum membongkar praktik pembelian saham gorengan, kerja sama fiktif, dan rekayasa laporan keuangan. Meski dibungkus strategi bisnis, terbukti ada mens rea atau niat jahat yang membuat BJR tidak berlaku sebagai tameng hukum. Ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara keputusan bisnis dan korupsi sistemik.
Dokumentasi menjadi elemen krusial dalam membedakan keduanya. Seperti diungkap William Bratton dan Michael Wachter dalam University of Pennsylvania Law Review (2008), efektivitas BJR sangat bergantung pada kualitas dokumentasi dan transparansi proses pengambilan keputusan. Risalah rapat, memo internal, email, hingga analisis risiko adalah bukti penting untuk menunjukkan bahwa keputusan tidak dibuat secara sembrono.
Di Indonesia, dokumentasi sering kali dimanipulasi. Audit BPK kerap menemukan perbedaan mencolok antara dokumen formal dan realita lapangan. Contohnya dalam proyek pembangunan rumah sakit fiktif atau pengadaan alat kesehatan saat pandemi. Praktik ini menunjukkan bahwa dokumentasi bisa menjadi alat kamuflase, bukan bukti akuntabilitas.
KPK telah beberapa kali memperingatkan soal ini. Pada Maret 2025, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto menyatakan bahwa narasi BJR kian sering digunakan untuk menghindari pertanggungjawaban hukum, terutama dalam perkara BUMN dan BUMD. Oleh karena itu, penguatan sistem pengawasan, manajemen risiko, dan kepatuhan menjadi penting agar tidak ada celah untuk penyalahgunaan.
Negara-negara lain sudah lebih dahulu merespons tantangan serupa. Korea Selatan memperketat aturan pasca skandal Samsung 2017 dengan mendorong transparansi korporasi. Jerman mewajibkan setiap keputusan direksi dilaporkan ke dewan pengawas (Aufsichtsrat), lengkap dengan evaluasi risiko dan dampaknya. Sistem ini mencegah keputusan sepihak dan memaksa adanya tanggung jawab prosedural.
Indonesia perlu belajar dari pendekatan ini. Salah satu solusi jangka panjang adalah penguatan dokumentasi berbasis teknologi. Blockchain, misalnya, memungkinkan pencatatan proses pengambilan keputusan yang tidak bisa diubah (immutable) dan dapat diaudit kapan saja. Estonia telah membuktikan bahwa sistem digital seperti ini mampu meningkatkan kepercayaan publik terhadap transparansi pemerintah dan bisnis.
Namun teknologi saja tidak cukup. Penegak hukum juga harus memahami perbedaan antara kegagalan bisnis dan niat jahat. Ini menuntut pendekatan hukum yang tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga memeriksa proses, motif, dan konteks. Sinergi antara penyidik, auditor, ahli hukum bisnis, dan regulator sangat penting agar penyimpangan tidak lolos hanya karena tampak “strategis”.
Yang juga tak kalah penting adalah edukasi publik. Tidak semua kegagalan bisnis adalah korupsi, dan tidak semua keputusan direksi layak diberi kekebalan. Prinsip BJR bukanlah jaminan bebas hukum, melainkan jaminan bagi mereka yang bekerja dengan integritas dan itikad baik. Dalam konteks Indonesia, BJR hanya dapat diberlakukan jika ada dokumentasi yang transparan, proses yang sah, dan niat yang bersih.
Jika tidak, prinsip ini akan berubah makna menjadi Blanket Justification Rule—alat legitimasi untuk penyimpangan kekuasaan dan pelarian dari hukum. Maka dari itu, memperbaiki kualitas dokumentasi, memperkuat kapasitas hukum, dan membangun sistem pengawasan yang tangguh adalah prasyarat agar prinsip BJR benar-benar menjadi pelindung manajemen profesional, bukan tameng bagi koruptor.*