Setelah 27 Tahun Reformasi: Kembali ke Titik Nol?

Makmur Sianipar
Advokat dan Konsultan Hukum/Senior Fellow Research Institute for Ethical Business and Political Leadership Development
FORUM KEADILAN – Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri setelah berkuasa 32 tahun. Gelombang demonstrasi mahasiswa di seluruh Indonesia kala itu tak terbendung lagi untuk menuntut lengsernya Soeharto. Puncaknya adalah ketika mahasiswa dan masyarakat pro-demokrasi menduduki gedung DPR/MPR, mendesakkan tuntutan agar Soeharto segera lengser.
Tindakan represif aparat keamanan, dari penculikan, penghilangan paksa, sampai penembakan mahasiswa Universitas Trisakti 12 Mei 1998 yang disusul kerusuhan massal 13-15 Mei, tidak lagi mampu menggentarkan mahasiswa.
Akhirnya, Soeharto menyerah dan mengumumkan pengunduran diri. Babak reformasi pun dimulai. Namun, setelah 27 tahun berlalu, pertanyaan besar kini muncul, apakah tuntutan reformasi telah dilaksanakan, ataukah kita justru telah kembali ke titik nol?
Sinyal Awal Kegagalan Reformasi
Reformasi 1998 lahir dari kemarahan kolektif terhadap otoritarianisme, korupsi, dan ketidakadilan struktural rezim Orde Baru. Kala itu mahasiswa mendesakkan sejumlah tuntutan dari pengunduran diri Soeharto, penghapusan dwifungsi ABRI, pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme, hingga pengadilan Soeharto dan pembubaran Golkar.
Namun, sinyal awal kegagalan reformasi muncul nyaris seketika. Lengsernya Soeharto ternyata tidak disertai dengan perombakan menyeluruh terhadap struktur kekuasaan Orde Baru. Elit Orde Baru tetap bertahan dalam kekuasaan. Dari semua penguasa Orba, praktis hanya Soeharto yang mundur.
Menteri yang ikut berkuasa selama Orde Baru seolah terbebas dari semua “dosa-dosa Orde Baru”. Tidak ada pengadilan terhadap para menteri yang turut memperkuat rezim.Tidak ada pertanggungjawaban moral maupun hukum atas praktik KKN yang masif.
Sinyal kegagalan ini semakin terang benderang dengan tidak adanya purifikasi elit politik. Banyak individu yang pernah menjadi bagian integral dari sistem Orde Baru berhasil mereposisi diri dan tetap menduduki jabatan strategis di era reformasi. Akibatnya, mentalitas dan praktik-praktik Orde Baru, alih-alih terkikis, justru menemukan cara untuk beradaptasi dan berkembang biak di bawah payung reformasi.
Tanda awal paling jelas bahwa reformasi telah terbajak dan mulai “terjangkit flu” adalah gagalnya Megawati Soekarnoputri menjadi presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999. Kegagalan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden meskipun PDI Perjuangan menang dalam Pemilu 1999 memperlihatkan bagaimana institusi-institusi negara masih dikuasai oleh elite lama.
Kekuatan status quo mampu memanipulasi proses demokrasi demi mempertahankan pengaruhnya. Keberhasilan manuver politik sisa-sisa Orde Baru ini, mengirimkan pesan kuat bahwa reformasi tidak akan berjalan mulus dan akan selalu dihadapkan pada hambatan dari dalam.
Lebih lagi, penghapusan dwifungsi ABRI tidak disertai dengan transformasi kultur militerisme dalam politik. Militer dan polisi masih punya pengaruh besar, baik di pusat maupun di daerah. Semua ini menjadi cikal bakal dari berbagai kemunduran demokrasi yang kita lihat hari ini.
Kembali ke Titik Nol?
Setelah 27 tahun reformasi, saat ini kita menyaksikan kembalinya suasana Orba.“Klasemen Liga Korupsi” menembus rekor tertinggi yang diduga mencapai 1000 triliun dalam kasus oplosan BBM, sebuah angka yang fantastis. Proyek-proyek APBN/APBD telah mengantarkan dari menteri sampai kepala desa menjadi warga binaan di penjara, menandakan betapa korupsi telah mengakar di segala tingkatan pemerintahan.
Nepotisme semakin marak, baik itu dalam hubungan keluarga dekat seperti anak, istri, menantu, paman, keponakan, maupun dengan relawan dan tim sukses dalam perhelatan politik. Nepotisme dan perkoncoan ini semakin dianggap sebagai praktik wajar, sehingga siapa pun pemenang kontestasi politik akan membawa gerbong politiknya ke struktur pemerintahan, dari menteri sampai staf khusus, dan pejabat di berbagai BUMN/BUMD.
Terakhir yang kita lihat adalah kembalinya TNI dan Polri (ABRI di zaman Orba) ke lembaga-lembaga sipil. Dulu, dwifungsi ABRI salah satu target utama reformasi untuk dihapuskan. Namun kini, kita menyaksikan kembalinya prajurit aktif menduduki posisi-posisi sipil, seperti masuknya perwira tinggi TNI aktif menjadi Dirjen Bea dan Cukai di Kementerian Keuangan dan perwira tinggi polisi aktif menjadi Sekjen Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
Dengan kembalinya semua praktik Orba yang dituntut kelompok reformasi agar dihentikan tahun 1998, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya reformasi telah kembali ke titik nol? Melihat kembali ke belakang, dan membandingkan kondisi saat ini dengan semangat dan tujuan awal reformasi, sulit untuk menolak argumen bahwa kita sedang berada di ambang kembalinya pola-pola otoritarianisme dan korupsi yang pernah kita lawan. Meskipun institusi demokrasi formal seperti pemilu masih berjalan, esensi dari reformasi itu sendiri, yaitu pemberantasan KKN dan penegakan supremasi hukum, tampak semakin luntur.
Mencari Jalan Keluar
Jika kita memaknai reformasi sebagai proses demokratisasi dan pelembagaan keadilan sosial, maka saat ini Indonesia tidak sedang berada dalam jalur yang tepat. Alih-alih konsolidasi demokrasi, kita menyaksikan demokrasi yang terkonsolidasi hanya dalam lingkaran elite kekuasaan.
Reformasi memang telah membawa perubahan, tetapi masih jauh dari ideal. Jika tidak ada perbaikan sistemik yang nyata, Indonesia berisiko terjebak dalam siklus politik yang hanya berganti wajah tanpa perubahan mendasar.
Pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah reformasi gagal, tetapi bagaimana menyelamatkan semangat reformasi agar tidak sepenuhnya kandas. Kesadaran kolektif untuk kembali ke cita-cita 1998 harus digelorakan kembali.
Jika tidak, maka benar adanya bahwa setelah 27 tahun, kita tidak maju ke depan, melainkan justru kembali ke titik nol, kembali ke sistem yang dulu kita lawan bersama-sama.
Tantangan terbesar kita sekarang adalah bagaimana mencegah kembalinya titik nol ini menjadi kenyataan, dan bagaimana menghidupkan kembali semangat reformasi yang dulu pernah membara.*