Korupsi Vs Keberlanjutan Negara

Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute Eddy Rusman. I Ist
Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute Eddy Rusman. I Ist

Eddy Rusman

Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute

Bacaan Lainnya

 

FORUM KEADILAN – Berlalu sudah 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Namun, gempuran berita korupsi terus bermunculan. Nilai kerugian yang semakin meningkat menjadikan korupsi seolah-olah sebuah liga kompetisi. Setiap kasus baru, mengalahkan yang sebelumnya.

Korupsi Pertamina ditemukan Kejaksaan Agung dengan total kerugian negara sebesar Rp968,5 triliun. Korupsi ini melampaui skandal PT Timah sebesar Rp300 triliun, yang sebelumnya dikira sebagai kasus terbesar.

Deretan kasus korupsi ini seperti gerbong yang terus tersambung. Mulai dari PT ASDP, PT Asabri, PT Jiwasraya, Garuda, BLBI, Bank Century, PT TPPI, ekspor minyak sawit, hingga kasus di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi). Tidak hanya di tingkat nasional, di daerah pun kasus serupa terus bermunculan. Korupsi ibarat penyakit endemik yang menggerogoti negeri ini.

Apakah kasus Pertamina ini akan menjadi kasus terbesar yang terungkap? Ataukah masih ada kasus yang lebih besar lagi nantinya?

Entahlah, yang jelas di seluruh dunia, korupsi merupakan masalah paling merusak stabilitas ekonomi dan sosial. Transparency International melaporkan bahwa kerugian akibat korupsi global mencapai lebih dari US$1 triliun setiap tahun. Negara-negara seperti Somalia, Sudan Selatan, dan Suriah menunjukkan praktik ini telah menyebabkan ketidakadilan sosial dan ekonomi yang parah serta menciptakan sosok negara gagal.

Indonesia pun tak lepas dari sorotan dunia, terutama setelah beberapa skandal megakorupsi terungkap dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun ada upaya pemberantasan, angka dan skala kasus yang terus meningkat menunjukkan bahwa tantangan ini semakin berat, mengancam keberlanjutan ekonomi serta kesejahteraan rakyat.

Gilanya lagi, para pelaku korupsi adalah pejabat yang memiliki gaji tinggi dan seharusnya menjalankan tugas dengan penuh amanah. Tak heran jika Indonesia berada pada peringkat 99 dari 180 negara dengan skor CPI 37, mendekati kategori negara yang sangat korup. François Valerian, Ketua Transparency International, menyatakan bahwa korupsi adalah ancaman global yang tidak hanya merugikan pembangunan, tetapi juga merupakan penyebab utama kemerosotan demokrasi, ketidakstabilan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam lima tahun terakhir, kejadian korupsi di Indonesia juga cenderung meningkat tajam. Data ICW menunjukkan bahwa jumlah kasus pada tahun 2019 tercatat 271, kemudian melonjak menjadi 791 pada 2023, dan pada tahun 2024, jumlahnya bahkan meledak berkali-kali lipat. POLRI menangani 1.280 kasus, KPK 154 kasus, dan Kejaksaan Agung 2.316 kasus.

Kasus-kasus ini melibatkan praktik suap, penggelapan anggaran, dan penyalahgunaan kekuasaan yang berakibat pada terganggunya pembangunan serta kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini yang memunculkan satire “Klasemen Liga Korupsi Indonesia” di berbagai media, yang menggambarkan bahwa korupsi seolah menjadi ajang kompetisi yang terus meningkat. Kritik tajam ini mencerminkan keprihatinan masyarakat atas tren korupsi yang semakin menggila.

Ironisnya, banyak pejabat dan pemimpin perusahaan BUMN sering menggaungkan nilai-nilai “akhlak” di setiap pintu masuk kantor mereka. Namun praktiknya, nilai tersebut justru diabaikan. Prinsip Governance, Risk, dan Compliance (GRC) yang seharusnya menjadi dasar tata kelola justru sering dilanggar. Sikap ini menunjukkan pelanggaran terhadap etika dan moralitas, yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat.

Filosof Immanuel Kant menekankan bahwa tindakan harus didasarkan pada prinsip moral universal, bukan sekadar mengejar hasil yang menguntungkan segelintir pihak. Transparency International juga menegaskan bahwa korupsi merusak kepercayaan publik dan memperburuk ketidakadilan sosial. Negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi sering kali kesulitan mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Korupsi juga memiliki dampak luas terhadap keberlanjutan lingkungan. Direktur Eksekutif Greenpeace International Mads Christensen menyoroti bagaimana industri bahan bakar fosil kerap terlibat dalam praktik korupsi, yang tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga mempengaruhi kebijakan pemerintah demi keuntungan korporasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam bayang-bayang korupsi, masa depan bangsa terancam.

Setiap rupiah yang digelapkan adalah langkah mundur bagi kesejahteraan rakyat. Prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) yang semakin ditekankan secara global akan sulit diterapkan jika korupsi terus merajalela. Tanpa tata kelola yang baik, aspek lingkungan dan sosial juga akan terdampak negatif.

 

Negara Gagal

Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menyatakan bahwa korupsi bukan hanya tentang uang yang dicuri dari rakyat, tetapi juga tentang kesempatan yang hilang—kesempatan untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pernyataan ini menggambarkan bagaimana korupsi merampas masa depan generasi mendatang, menyebabkan ketimpangan yang semakin dalam, serta menghambat pertumbuhan ekonomi dan sosial.

Keberlanjutan tidak mungkin tercapai tanpa transparansi dan akuntabilitas. Korupsi menunjukkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan akses terhadap layanan dasar, yang sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan. Michael Johnston, seorang peneliti korupsi, menyatakan bahwa korupsi sering muncul akibat interaksi antara sistem politik dan ekonomi yang tidak seimbang. Tanpa regulasi yang ketat dan akuntabilitas yang kuat, individu atau kelompok tertentu akan terus memanfaatkan celah hukum untuk keuntungan pribadi.

Emil Salim, ekonom senior dan mantan Menteri Lingkungan Hidup juga menegaskan, korupsi adalah penghalang utama bagi pembangunan berkelanjutan. Ketika sumber daya dialokasikan secara tidak adil, masyarakat yang paling rentan akan menjadi korban utama.

Untuk memberantas korupsi, Indonesia harus berkomitmen penuh pada reformasi birokrasi dan sistem hukum yang transparan. Tanpa langkah nyata, negara ini akan terus terjebak dalam siklus korupsi yang kian mengerikan.

Indonesia juga perlu melakukan reformasi sistemik dan digitalisasi, khususnya dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian, celah yang bisa dimanfaatkan untuk praktik korupsi dapat diminimalisir. Transparency International menyatakan, teknologi digital dapat menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan transparansi dan mengurangi korupsi.

Langkah lain adalah mengintegrasikan pendidikan integritas dan anti-korupsi dalam kurikulum pendidikan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pejabat sejak dini. Menurut Robert Klitgaard, seorang peneliti korupsi, pendidikan adalah kunci untuk membangun budaya anti-korupsi di masa depan.

Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan proyek pemerintah juga perlu diterapkan secara ketat. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi proyek-proyek pemerintah harus didorong, sehingga masyarakat memiliki peran aktif dalam menuntut akuntabilitas.

Kerja sama internasional menjadi aspek penting lainnya, di mana pemerintah perlu memperkuat kolaborasi dengan lembaga internasional dalam membangun sistem pelaporan dan pemantauan korupsi yang lebih efektif. Terakhir, penataan ulang sistem penunjukkan pejabat dengan mengedepankan profesionalisme dan keterbukaan penting untuk menghindari jual beli jabatan.

Dengan upaya-upaya itu, niat pemerintah memerangi korupsi dan mendukung keberlanjutan dapat berjalan lebih efektif dan memberikan dampak positif yang signifikan. Selain itu, penerapan hukuman yang lebih tegas, seperti penyitaan seluruh aset hasil korupsi, harus menjadi prioritas agar memberikan efek gentar dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Jangan sampai, gara-gara korupsi, Indonesia menjadi negara gagal.*

Pos terkait