Marah Kerma Mardame Manurung
Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute
FORUM KEADILAN – Ketika berpidato dalam gelaran World Government Summit 2025 di Dubai, Kamis (13/2/2025), Presiden Prabowo Subianto mengajak sektor swasta untuk terlibat lebih aktif dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Seruan ini muncul mengingat pemerintah sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN/APBD 2025. Efisiensi tersebut memaksa pemerintah untuk mencari cara kreatif dalam melanjutkan sejumlah proyek pembangunan.
Inpres Nomor 1 Tahun 2025 memerintahkan pemotongan belanja negara sebesar Rp306,69 triliun. Itu pun belum seluruhnya. Dalam ulang tahun Partai Gerindra ke-17, Sabtu, 15/2/2025, Presiden kembali memaparkan rencana efisiensi anggaran jilid dua dan tiga, sebesar Rp308 triliun dan Rp200 triliun. Hasil efisiensi anggaran ini, sebagian, akan dialokasikan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG). Terang saja, efisiensi sebesar itu akan menjadi tantangan besar bagi kementerian dan lembaga.
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) pun harus mendapati anggaran mereka pada 2025 terpangkas dari Rp110,95 triliun menjadi Rp29,57 triliun. Alokasi untuk proyek infrastruktur hanya disisakan Rp22,3 triliun. Wajar jika muncul pertanyaan tentang kelanjutan nasib infrastruktur jalan tol, jembatan, pelabuhan, bandara, dan infrastruktur lainnya jika efisiensi anggaran jilid dua dan tiga dilanjutkan.
Padahal, pengembangan infrastruktur adalah pekerjaan rumah Indonesia ketika hendak meningkatkan daya saing negeri. Saat menjadi tuan rumah Forum G20 di Bali (2022), Presiden Joko Widodo berjanji bahwa pembangunan infrastruktur berkelanjutan adalah salah satu upaya untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Jokowi menekankan bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya tentang bangunan fisik, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh. Ahli infrastruktur global, Marianne Fay (2017), menegaskan, infrastruktur yang berkelanjutan tidak hanya mencakup pembangunan, tetapi juga dampak sosial dan lingkungan yang lebih luas.
Di era Jokowi, Indonesia telah mengambil langkah-langkah penting dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan melalui tiga prinsip utama. Satu, Investasi Infrastruktur Berkualitas, yang berupaya memaksimalkan dampak positif infrastruktur dalam mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Dua, Infrastruktur Hijau yang berupaya mewujudkan infrastruktur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sejak perancangan hingga pemeliharaan. Tiga, Infrastruktur Ekonomi Sirkular yang berupaya meminimalkan limbah dan memaksimalkan bahan baku lama melalui daur ulang (6R: Rethink, Refuse, Repair, Reduce, Reuse, Recycle).
Nah, dengan anggaran yang ”hanya” Rp22,3 triliun, Kementerian PU pasti akan menghadapi banyak dilema. Proyek mana saja yang harus diprioritaskan? Bahkan proyek sekelas IKN pun bisa terancam. Guru Besar ITB, Harun Al Rasyid Lubis (2024), menyebutkan bahwa permodalan menjadi salah satu kendala dalam menggerakkan proyek infrastruktur. Tanpa modal yang cukup, tak akan ada infrastruktur yang terbangun.
Kalau sudah begini, skema kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), yang melibatkan kalangan swasta, harus bisa menjadi satu solusi. Dalam teori pembangunan infrastruktur berbasis Public-Private Partnership (PPP), tahap persiapan yang matang menjadi sangat krusial dalam menarik minat sektor swasta.
Cara Cerdas Melibatkan Swasta
Menurut teori Transaction Cost Economics (Williamson, 1981), komponen biaya dalam proyek infrastruktur dapat diminimalkan dengan adanya perencanaan yang komprehensif. Di titik inilah swasta sangat butuh diyakinkan. Mereka perlu merasa aman dan nyaman jika akan menyambut tawaran proyek-proyek infrastruktur yang membutuhkan pendanaan.
Swasta pasti akan berhitung. Mereka perlu yakin bahwa investasi mereka dapat menghasilkan keuntungan dengan kepastian yang terukur. Tanpa kejelasan, sulit mengharapkan keterlibatan swasta. Dalam skema KPBU, sebagai implementasi Perpres Nomor 38 Tahun 2015, pemerintah perlu memperhatikan beberapa aspek lain agar proyek lebih menarik bagi pihak swasta.
Pertama, sediakan fasilitas pengembangan proyek (Project Development Facility/PDF). Ini bertujuan untuk menyiapkan strategi proyek-proyek yang berkualitas, menarik bagi swasta, dan memenuhi prinsip kelayakan ekonomi serta finansial. Hal ini mencakup pembiayaan untuk studi kelayakan, penyusunan dokumen pengadaan, bantuan konsultan, dan tenaga ahli. Ahli manajemen John R Bartle (2019) menyatakan bahwa fasilitas pengembangan proyek adalah kunci untuk menarik investasi swasta dalam proyek infrastruktur jangka panjang.
Bila dikaitkan dengan teori agency cost, maka tanpa persiapan proyek yang matang, risiko asimetris informasi antara pemerintah dan pihak swasta bisa muncul. Swasta mungkin enggan berinvestasi karena kekurangan informasi atau kekhawatiran mengenai risiko dan potensi keuntungan proyek. PDF mengurangi “gap” dengan menyediakan informasi yang transparan dan akurat, sehingga meningkatkan kepercayaan swasta. Semua dibicarakan di atas meja, bukan di bawah meja!
Kedua, dukungan kelayakan (Viability Gap Fund/VGF). Ini adalah bantuan fiskal yang diberikan untuk meningkatkan kelayakan proyek finansial. Bentuknya berupa kontribusi untuk sebagian biaya konstruksi proyek yang diberikan kepada swasta. Proyek infrastruktur sejatinya sering kali memiliki manfaat sosial yang besar (seperti peningkatan konektivitas, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat), namun mungkin kurang menguntungkan secara finansial bagi swasta.
Masalah ini juga yang sering menjadi penyebab kurangnya minat swasta untuk terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur. Michael A. Cohen (2020) menegaskan bahwa VGF adalah instrumen penting untuk menjembatani kesenjangan antara nilai sosial dan ekonomi proyek infrastruktur. Makanya, pemerintah, melalui VGF, perlu mengatasi hal ini dengan memberikan insentif finansial kepada swasta, sehingga proyek menjadi lebih menarik dan layak untuk diinvestasikan.
Ketiga, Penjaminan Infrastruktur. Penjaminan infrastruktur bertujuan untuk mengurangi risiko investasi melalui jaminan pemerintah. Jaminan ini memberikan kepastian kepada swasta jika terjadi risiko infrastruktur sesuai perjanjian.
Penjaminan infrastruktur tentu sangat berkaitan dengan manajemen risiko dan asuransi. Investasi swasta di proyek infrastruktur sering kali diperhadapkan pada berbagai jenis risiko, seperti risiko politik, risiko regulasi, risiko kegagalan konstruksi, dan risiko operasional. Risiko-risiko ini dapat menghambat keinginan swasta untuk berinvestasi di proyek yang strategis.
Dalam urusan inilah, jaminan pemerintah diperlukan. Kehadiran Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), sebagai single window policy, bisa menjadi jawaban. PII berfungsi sebagai asuransi bagi swasta, mengurangi risiko yang tidak dapat mereka kendalikan, sehingga meningkatkan keyakinan mereka untuk berpartisipasi dalam proyek KPBU.
Tidak bisa tidak, di tengah kondisi anggaran yang ketat, adanya rencana efisiensi target anggaran berikutnya, dan tantangan keberlanjutan pembangunan infrastruktur yang kian terjal, maka pemerintah harus bertindak cerdas. Rencana mengundang swasta untuk terlibat lebih banyak di proyek-proyek infrastruktur perlu diimbangi dengan good will yang terukur. Dengan begitu, program memberi makan bergizi gratis tidak lantas membuat proyek infrastruktur ikut meringis, apalagi menangis.*