Pasca MK Hapus Presidential Threshold, Jimly: Jangan Takut Banyak Capres

Prof Jimly Asshiddiqie (kedua dari kiri) dalam Ngaji Konstitusi soal Penghapusan Ambang Bagas Presiden di Jakarta, Jumat, 10/1/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama sekaligus founder Jimly School Of Law and Government (JSLG), Jimly Asshiddiqie meminta agar partai (parpol) tidak takut akan banyaknya calon presiden (capres) dalam pemilihan presiden (pilpres) mendatang. Ia menampik bahwa semakin banyak capres akan semakin menyulitkan proses pemilihan.

Hal itu ia sampaikan dalam kegiatan Ngaji Konstitusi berjudul “Masa Depan Demokrasi Indonesia: Presidential Threshold Pasca Putusan MK” yang diselenggarakan oleh Jimly School of Law and Government.

Bacaan Lainnya

“Alasan ekonomis nggak bener untuk cegah banyak capres. Karena biaya yang dikeluarkan untuk cetak suara suaranya sama saja, paling lebih panjang sedikit. Jadi makin banyak makin baik. Etnisitas kita banyak untuk apa dibatasi,” kata Jimly, Jumat, 10/1/2025.

Ia menyebut, semakin banyak capres akan membuat demokrasi makin berkembang. Selain itu, ia juga meyakini penghapusan ambang batas presiden dapat membuat bakal capres semakin beragam etnisnya. Sehingga, capres tak hanya didominasi suku tertentu saja.

“Itu menyalurkan suara boleh keturunan Aceh, Papua. Soalnya terpilih atau tidak belakangan. Kalau di tingkat kabupaten kota sudah ada biar inklusivisme demokratis makin berkembang,” ujarnya.

Menurutnya, kekhawatiran akan banyaknya jumlah capres akan terkonsolidasi dengan sendirinya. Ia menyebut bahwa yang akan membedakan hanya kertas pencoblosan yang lebih panjang.

Meski begitu, Jimly meyakini akan ada mekanisme alami dalam membatasi jumlah capres. Sebab, ajang pilpres perlu modal dan tingkat elektabilitas yang tak sedikit. Sehingga Jimly menduga, jumlah capres tak akan mencapai belasan orang.

“Misal, ndak mungkin lebih banyak dari 9 (capres) karena biayanya mahal pilpres dan bohir-bohirnya juga ngitung potensi menangnya. Nggak ada orang mau buang uang percuma,” katanya.

“Jadi masyarakat akan ngerem sendiri, ada mekanisme kontrol sendiri. Jadi dari jauh hari nggak usah takut kebanyakan. Wong belum dites, belum dicoba. Simpan dulu ketakutan banyak calon,” tambahnya.

Diketahui, diskusi hybrid ini dihadiri pula oleh founder Adikara Cipta Aksa, Geofani Milthree Saragih; Kepala Departemen Hukum Tata Negara FH UII, Jamaludin Ghafur; dan Dewan Pakar JSLG, Taufiqurrohman, dan Pengamat Kepemiluan UI, Titi Anggraini.

Sebelumnya, MK menghapus ketentuan ambang batas presiden dalam UU Pemilu dengan mengabulkan perkara Nomor 64/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait