MK Batalkan Presidential Threshold Pilpres 2029

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo, dalam sidang di Gedung MK, Kamis, 2/1/2025 | YouTube Mahkamah Konstitusi RI
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo, dalam sidang di Gedung MK, Kamis, 2/1/2025 | YouTube Mahkamah Konstitusi RI

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan ambang batas presiden atau Presidential Threshold (PT) untuk pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2029. Mahkamah berpendapat bahwa aturan ambang batas hanya menguntungkan partai-partai politik besar dan tidak didasarkan pada penghitungan yang rasional.

Hal itu diputuskan dalam sidang perkara Nomor 64/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam petitumnya, mereka meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Bacaan Lainnya

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK, Suhartoyo saat membaca amar putusan di Gedung MK, Kamis, 2/1/2025.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut bahwa penerapan angka ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.

Menurut MK, penetapan besaran atau persentase ambang batas tersebut tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. Apalagi, penentuan persentase tersebut hanya menguntungkan partai politik besar.

“Penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan,” kata Saldi.

Di sisi lain, Mahkamah menilai bahwa mempertahankan ketentuan PT presiden dan wakil presiden cenderung mengarah pada dua pasangan calon dalam Pilpres.

Padahal, kata Saldi, hal tersebut dapat menyebabkan masyarakat terpolarisasi dan dapat mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” katanya.

Apalagi, kata dia, dalam Pilkada terbaru telah muncul gerakan yang mengarah pada calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong. Dengan mempertahankan ambang batas tersebut, MK menilai hal tersebut berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” katanya.

Pendirian MK Bergeser

Lebih lanjut, Saldi menuturkan bahwa keberadaan pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tak dapat dilepaskan dari Pasal 6A ayat (5) di mana pasal tersebut memberikan ketentuan lanjutan untuk diatur dalam undang-undang.

Meski begitu, Mahkamah menilai bahwa pengaturan yang dibuat berdasarkan delegasi dimaksud harus tetap tunduk kepada pembatasan yang dikehendaki oleh norma pokok yang memberikan delegasi kepada undang-undang.

Setelah menelusuri risalah Pasal 6A UUD NRI 1945, MK menilai bahwa pendelegasian aturan ambang batas hanya untuk tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden, bukan berkaitan dengan persyaratan pengusulan pasangan capres dan cawapres.

Apalagi, dalam konstitusi sudah ditegaskan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

“Artinya, sepanjang partai politik sudah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, partai politik dimaksud memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” kata Saldi.

Terlebih secara faktual, setelah 5 kali penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung sejak tahun 2004, sudah cukup bagi Mahkamah untuk tetap menyatakan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold) sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.

MK juga menemukan fakta lain yang tidak kalah pentingnya, dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Karena itu, setelah mencermati secara saksama dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan negara, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian sebelumnya,” katanya.

Mahkamah menegaskan bahwa seberapa besar aturan persentase ambang batas presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” kata Saldi.

Oleh karena itu, terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya.

Batasan MK untuk Ambang Batas Pilpres 2029

Setelah MK membatalkan ambang batas presiden untuk Pilpres 2029, Mahkamah juga memberikan batasan untuk pengaturan ketentuan pada revisi UU Pemilu.

Menurut MK, dengan dihapusnya ambang batas, tetap harus memperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.

“Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” kata Saldi.

Meski dalam pertimbangannya MK juga menegaskan ambang batas presiden inkonstitusional, pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

Apalagi, kata MK, jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia.

Untuk itu, Mahkamah memerintahkan pemerintah dan DPR tatkala melakukan revisi UU Pemilu dapat menggunakan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan memperhatikan beberapa hal.

Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

“Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya,” kata Saldi.

Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait