Jumat, 13 Juni 2025
Menu

Pemberian Amnesti dengan Alasan Kemanusiaan: Harus Realistis dan Logis

Redaksi
Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanagara (UNTAR) Hery Firmansyah | dok. Forum Keadilan
Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanagara (UNTAR) Hery Firmansyah | dok. Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Menteri Hukum (Menkum) RI Supratman Andi Agtas mengungkapkan bahwa pihaknya mengusulkan 44 ribu orang narapidana kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk diberikan amnesti.

Amnesti merupakan tindakan menghapuskan hukuman pidana yang telah dijatuhkan maupun belum dijatuhkan kepada terpidana. Hukum amnesti memiliki karakteristik khusus, yakni berlaku surut (retroactive), karena hanya berlaku untuk tindakan yang dilakukan sebelum ditetapkan.

Rencananya, amnesti tersebut akan diberikan kepada napi yang terjerat kasus penghinaan beserta gangguan kejiwaan. Kemudian, narapidana dengan penyakit yang berkepanjangan termasuk HIV, hingga napi pengguna narkotika.

Selain itu, tujuan amnesti diberikan mengurangi overload kapasitas lapas dengan pertimbangan manusia. Menilai hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanagara (UNTAR) Hery Firmansyah mengatakan, pemerintah perlu menimbang latar belakang pemberian suatu kebijakan.

“Tentunya, pemberian suatu kebijakan hukum harus dengan latar belakang yang jelas. Kita mendukung program pemerintah yang baik dari Bapak Prabowo Subianto. Namun, tentu harus yang realistis, logis, dan bermanfaat bagi masyarakat luas,” katanya kepada Forum Keadilan, Sabtu, 14/12/2024.

Hery melanjutkan, memberikan ‘pengampunan’ kepada sejumlah narapidana harus jelas kategorinya, misalnya amnesti akan diberikan kepada narapidana yang seperti apa, serta berapa lama sanksi pidana yang dijalani.

“Yang memperoleh privilege tersebut untuk tindak pidana apa dan berapa lama sanksi pidana yang mereka jalani. Jangan sampai kebijakan dan ketidakjelasan tadi mencuat. Sudah dilempar isunya ke publik, namun minim akan alasan yang kuat,” lanjutnya.

Menurut Hery, pemberian amnesti karena alasan kemanusiaan dinilai belum bisa menyelesaikan masalah. Sebab, persoalan over capacity di lapas harus diuraikan dengan jelas.

“Persoalan over capacity harus ditarik ke hulu untuk melihat tindak pidana atau perbuatan apa. Kemudian bisa diselesaikan lewat mekanisme pidana dengan mengedepankan pidana ultimum remedium,” sebutnya.

Kata Hery, jangan hanya karena alasan kemanusiaan, pemerintah langsung membangun lapas tambahan dengan mengeluarkan kocek yang banyak.

Selain mahal, pembangunan lapas merupakan maintenance yang rumit, sehingga tanpa disadari membuat hunian lapas terus membengkak.

Hery enggan berspekulasi apakah amnesti itu akan memberi dampak yang signifikan terhadap pencegahan tindak pidana di masyarakat. Bahkan, ia menilai, jika hanya mengandalkan ‘pengampunan’ dirasa belum efektif memberantas pidana.

“Sulit untuk dinilai karena belum dilaksanakan. Tapi, dengan mengandalkan itu saja, rasanya belum efektif, karena persoalan utamanya juga adalah tafsir dan mindset cara menghukum serta berhukum yang perlu lebih disampaikan kepada penegak hukum,” pungkasnya.*

Laporan Merinda Faradianti