Duka Selimuti Keluarga Abdul Halim, PN Lubuk Linggau Abaikan Fakta Persidangan

FORUM KEADILAN – Pengusaha terkemuka Palembang Kemas Haji Abdul Halim Ali mengaku sedih atas konflik antara salah satu perusahaannya PT Sentosa Kurnia Bahagia (PT SKB) dan PT Gorby Putra Utama (PT GPU).
Pemilik Sentosa Group berusia 87 tahun itu juga menyesalkan keputusan Pengadilan Negeri Lubuk Linggau yang telah memvonis bersalah kedua karyawannya, Bagio Wilujeng dan Djoko Purnomo di hari yang sama di saat istrinya, Nyimas Hj. Aminah, 83 tahun, wafat pada Rabu, 11/12/2024 lalu.
“Pengadilan itu tempatnya mencari keadilan. Saya malu, saya minta maaf kepada mereka, Bagio dan Djoko. Salahnya apa?” ujar Haji Halim yang masih ditunjang selang oksigen dengan terbata-bata, saat ditemui usai acara tahlil di kediamannya di Palembang, Jumat, 13/12/2024 malam, yang dihadiri oleh sejumlah tokoh maupun pejabat seperti Pangdam II/Sriwijaya Mayjen TNI M Naudi Nurdika, Pj Gubernur Provinsi Sumatera Selatan H Elen Setiadi, Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR-RI Mohammad Iqbal Romzi, dan banyak lagi.
“Apa dasarnya mereka dihukum?” kata Haji Halim, yang mengenakan baju koko putih.
“Mereka itu hanya menjalankan prosedur. Mereka itu beritikad baik,” ujar Haji Halim menyesalkan cara-cara yang digunakan PT GPU dengan menebar narasi negatif terkait dirinya dan karyawannya tersebut.
Terlebih hal itu dilakukan PT GPU disaat kondisi sedang berduka.
“Pak, jangan begini caranya. Kita ada aturannya. Tolong tunjukkan satu saja lahan yang saya palsukan (dokumennya). Ada kok (saksinya) camat, kades, bupati. Sampai sekarang di pengadilan (putusan kasasi MA) menang kok,” ujar Haji Halim.
Dihubungi secara terpisah, kuasa hukum dua karyawan PT SKB itu menyesalkan putusan majelis hakim PN Lubuk Linggau, Provinsi Sumatera Selatan, yang telah memvonis bersalah kedua kliennya tersebut.
“Majelis hakim telah mengabaikan prinsip-prinsip hukum dan fakta-fakta persidangan,” ujar Adnial Roemza, tim kuasa hukum PT SKB dari firma hukum Ihza & Ihza saat dihubungi, Jumat, 13/12/24.
Sebagaimana diketahui, PN Lubuk Linggau telah memvonis Bagio dan Djoko masing-masing dua tahun penjara. Keduanya dinyatakan terbukti melakukan pemalsuan dokumen dalam proses permohonan Hak Guna Usaha (HGU) di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Provinsi Sumatera Selatan, Rabu, 11/12/2024.
Adnial mengatakan bahwa PN Lubuk Linggau telah mengabaikan fakta hukum bahwa PT GPU tidak memiliki dasar hukum atas kepemilikan tanah di lokasi yang dipermasalahkan itu. Apalagi kepemilikan HGU atas nama PT SKB itu telah diakui dan berkekuatan hukum tetap sesuai Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 554 K/TUN/2024 tertanggal 2 Desember 2024.
“Kalau memang hakim mau mencari kebenaran materiil seharusnya tidak boleh mengabaikan fakta-fakta yang ada. Meskipun fakta tersebut datangnya belakangan,” kata Adnial.
Hal senada juga disampaikan Satria Narayya, juga dari firma Ihza & Ihza, yang menjadi kuasa PT SKB. Ia mengatakan bahwa Bagio dan Djoko, hanya menjalankan pembebasan lahan serta pengajuan HGU berdasarkan konsultasi dan arahan serta legitimasi para pejabat dari instansi yang berwenang, yakni Kepala Desa Sako Suban dan Camat Batanghari Leko. Maka, unsur niat jahat (mens rea) yang menjadi inti dalam perkara pidana ini tidak terpenuhi.
“Ketidakpastian hukum yang timbul akibat sengketa batas wilayah seharusnya tidak dibebankan kepada mereka melainkan merupakan tanggung jawab penyelenggara negara,” kata Satria.
Ia menyebut adanya indikasi pelanggaran terhadap prinsip negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945.
Kendati begitu, tim kuasa hukum PT SKB menyatakan menghormati keputusan itu.
Adapun, terkait tudingan merekayasa dokumen tanah dan dokumen-dokumen lainnya sebagai syarat terbitnya HGU sebagaimana dituduhkan PT GPU kepada PT SKB berbekal Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 76/2014, menurut Adnial, justru bertentangan dengan undang-undang dan fakta di lapangan.
Sebab, pada saat gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) Muba pada November lalu, SD Negeri (SDN) Sako Suban digunakan sebagai Tempat Pemungutan Suara (TPS). Padahal, berdasarkan Permendagri Nomor 76/2014, TPS itu berada di wilayah Kabupaten Musirawas Utara (Muratara).
“Ini menunjukkan adanya tumpang tindih administratif yang berdampak pada aspek legal, sosial, dan politik di kawasan tersebut,” ujar Adnial.
Secara terpisah, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Daerah Muba, Suganda menyatakan bahwa, secara administrasi SDN Sako Suban masuk ke wilayah Muba.
“Tapi, kalau terkait TPS itu wewenang KPU,” kata Suganda.
Adapun saat ditemui di Desa Sako Suban, Yeni Lastari, seorang guru SD, menunjukkan surat undangan pemungutan suara untuk memilih Bupati Muba meski ia tinggal di dusun yang secara administratif tercatat sebagai bagian Kabupaten Muratara berdasarkan Permendagri Nomor 76/2014.
Tumpang tindih administrasi tersebut ditanggapi oleh Haris Azhar, aktivis HAM dan pendiri LSM Lokataru. Menurut Haris, kondisi di TPS SDN Sako Suban tersebut menandakan bahwa daerah itu dipaksakan oleh pihak otoritas pusat sebagai daerah baru. Padahal, di lapangan bahkan pencatatan resmi di daerah masih bernama daerah yang lama.
Haris juga merujuk pada pada peta dan titik koordinat yang dimuat dalam Lampiran UU Nomor 16/2013 tentang pembentukan Kabupaten Muratara
“Itu artinya Permendagri Nomor 76/2014 terbukti melanggar undang-undang. Ini bukti bahwa pemerintah pusat memiliki agenda terselubung dan tidak diikuti dengan penataan administrasi pemerintahan lokal. Pertanyaannya, apa agenda pemerintah pusat tersebut?” kata Haris. *