MK Tegaskan Penyusunan RUKN Ditetapkan Setelah Dapat Pertimbangan Parlemen

Sidang putusan MK Nomor 39/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat, 29/11/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Sidang putusan MK Nomor 39/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat, 29/11/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapat pertimbangan dari DPR RI.

Dalam Putusan MK Nomor 39/PUU-XXI/2023, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon yang terdiri dari Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan sembilan serikat buruh lainnya serta 109 individu yang tergabung sebagai Pemohon.

Bacaan Lainnya

Mereka melakukan pengujian materiil Pasal 38 dan 42 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Salah satu dalil permohonan yang dikabulkan Mahkamah ialah Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 tentang Perppu Ciptaker.

“Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapat pertimbangan DPR RI,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat, 29/11/2024.

Awalnya, dalam petitum para Pemohon meminta agar DPR memberikan “persetujuan” dalam penentuan kebijakan energi nasional, khususnya di bidang ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah berpendapat bahwa keterlibatan DPR dalam RUKN hanya berupa “pertimbangan”.

“Pendapat Mahkamah demikian didasarkan pada sudut pandang, proses untuk mendapatkan ‘pertimbangan’ lebih sederhana dibandingkan dengan proses mendapatkan ‘persetujuan’,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan.

Lebih lanjut, Mahkamah menjelaskan bahwa pertimbangan dari Parlemen dibutuhkan untuk menjamin keselarasan RUKN dengan kebijakan energi nasional. Apalagi, ketenagalistrikan nasional merupakan suatu cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup masyarakat Indonesia, sehingga harus mendapatkan pertimbangan dari DPR RI.

“Kewenangan/fungsi legislasi DPR harus pula ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan (berkelindan) dengan fungsi pengawasan. Dalam hal ini, apabila diletakkan dalam sudut pandang konsep manajemen modern, fungsi pengawasan harus dimulai sejak perencanaan suatu kegiatan dirumuskan,” lanjutnya.

Mahkamah berpendapat bahwa menyandarkan keterlibatan DPR yang bersifat umum dalam RUKN potensial mengabaikan posisi listrik sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

“Artinya, persetujuan DPR dalam kebijakan energi nasional yang bersifat umum tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan kewajiban untuk melibatkan DPR dalam penyusunan RUKN,” kata Saldi.

Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan bahwa DPR harus diberikan ruang yang cukup sebagai representasi rakyat dalam perencanaan RUKN. Menurut mereka, kesalahan perencanaan akan berpengaruh pada beban yang akan ditanggung oleh para Pemohon sebagai bagian dari masyarakat Indonesia selaku konsumen listrik.

Oleh karena itu, penyelenggaraan penyediaan energi listrik harus dilakukan secara merata, andal dan berkelanjutan serta dalam penyusunan RUKN harus didasarkan pada prinsip efisiensi, transparansi, dan partisipasi kepada pemangku kepentingan di sektor ketenagalistrikan.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait