Kasus Korupsi Timah, Pakar: UU Tipikor Bukan UU Sapu Jagat

FORUM KEADILAN – Sidang kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan terdakwa empat orang pengurus CV Venus Inti Perkasa (VIP) kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 18/11/2024.
Sidang agenda mendengar keterangan saksi ahli dari terdakwa CV VIP ini, menghadirkan Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin Prof Abrar Saleng.
Dalam persidangan saksi menyatakan, di kasus pertambangan, jika terjadi pelanggaran biasanya diselesaikan secara administrasi dan bukan pidana.
“Jika sebuah perusahaan pertambangan memiliki izin usaha penambangan (IUP) maka maka setiap pelanggaran yang dilakukan masuk dalam sanksi administrasi dan bukan pidana, semua kegiatan pertambangan yang berbasis izin tidak masuk illegal. Yang dipidana menambang di luar izin,” tutur Abrar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa 19/11/2024.
Dia juga mengatakan, jika memang terjadi tindak pidana dalam perusahaan penambangan maka selain sanksi administrasi, yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan adalah polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan bukan pihak lain.
“Sudah jelas yang diatur secara khusus, bahwa yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan adalah PPNS Kementerian ESDM. Selain PPNS dan Kepolisian, Lembaga lain tidak bisa melakukan penyidikan, karena ada seorang penyidik pertambangan harus menjalani pendidikan khusus dan SK khusus,” katanya.
Untuk itu, lanjutnya, dirinya menganggap bahwa jaksa penuntut umum (JPU) kurang memahami istilah-istilah pertambangan.
“Ini tidak akan terjadi jika memang penyidiknya adalah orang yang ahli pertambangan,” imbuhnya.
Menurut Abrar, dalam kasus pertambangan, yang bertanggung jawab adalah perusahaan yang memiliki IUP dan bukanlah pihak ketiga, termasuk masyarakat sekitar.
“Karena berdasarkan undang-undang pertambangan, perusahaan yang memegang IUP sah seandainya ingin bekerja sama dengan pihak ketiga, namun jika ada masalah tanggung jawabnya tetap ada di pihak pemegang IUP,” tuturnya.
Sementara saksi ahli dari Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Mahmud Mulyadi menyatakan bahwa UU TIpikor bukanlah UU sapu jagat yang bisa menjerat seseorang berdasarkan adanya kerugian keuangan negara.
Sebab, tidak semua bisa digeneralisasi sebagai Tipikor berdasarkan adanya kerugian keuangan negara.
“Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai Tipikor nah itu kan berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara illegal (illegal Fishing) bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan bisa dikenakan pasal tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu,” ungkapnya.
Doktor Ilmu Hukum USU ini mengingatkan bahwa sebagai UU khusus (lex spesialis), UU Tipikor tidak bisa juga langsung digunakan untuk berbagai perkara. UU Tipukor hanya bisa digunakan ketika tidak ada undang-undang yang mengatur satu perbuatan yang bersifat khusus.
Tetapi jika ada undang-undang khusus, maka baru bisa diberlakukan undang-undang Tipikor.
“Jika ada dua undang-undang khusus diadu, maka mana yang harus diterapkan? Harus kita lihat dulu domain perbuatannya. Misalnya jika UU Tipikor berhadapan dengan UU Kepabean, UU Perbankan, UU Perpajakan atau UU Minerba, maka belum tentu yang diterapkan UU Tipikor,” ujarnya.
Dalam UU Tipikor, menurut Mahmud, harus dibuktikan dulu unsur-usur melawan hukumnya, menguntungkan atau memperkaya diri dan merugikan keuangan negara.
“Jadi penting menguji apakah melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Maka harus diuji dulu UU mana yang dilanggar jika ada irisan dengan UU lain, maka harus diteliti secara khusus dan sistematis,” katanya.
Dia juga mengatakan penggunaan perhitungan kerusakan lingkungan sebagai landasan menghitung besaran dugaan korupsi juga haruslah diuji terlebih dahulu.
Sementara Kepala Desa Bencah Bangka Selatan Heru Promono bersaksi di persidangan bahwa penambangan rakyat sudah terjadi di Bangka Selatan terutama di Desa Bencah sejak dirinya masih anak-anak dan dibiarkan saja PT Timah.
“Ironisnya, penambangan rakyat masih berlangsung hingga saat ini karena sudah salah satu mata pencaharian,” pungkasnya.*