Kemnaker Buka Suara Terkait Sritex Dinyatakan Pailit

Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang memutuskan bahwa pailit Sritex melalui putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri mengeluarkan pernyataan lengkap mengenai Sritex pailit. Berikut isinya:
1. Kemnaker meminta kepada PT Sritex dan anak-anak perusahaannya yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga agar tidak terburu-buru melakukan PHK kepada pekerja nya, sampai dengan adanya putusan yang inkrah atau dari MA.
2. Kemnaker meminta kepada PT Sritex dan anak-anak perusahaannya untuk tetap membayarkan hak-hak pekerja terutama gaji/upah.
3. Kemnaker meminta agar semua pihak yaitu manajemen dan SP (Serikat Pekerja) di perusahaan untuk tetap tenang dan menjaga kondusifitas perusahaan, serta segera menentukan langkah-langkah strategis dan solutif untuk kedua belah pihak. Utamakan dialog yang konstruktif, produktif dan solutif.
Diketahui, berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022, dijelaskan bahwa Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya sudah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT Indo Bharat Rayon, sebagai pemohon.
Sebagai informasi, Sritex telah lama mengalami permasalahan keuangan yang akut di amana perusahaan mencatatkan kenaikan utang dan defisit modal yang kain membengkak.
Hingga akhir Juni 2024, aset perusahaan tercatat turun 5% menjadi US$ 617 juta atau setara Rp9,56 triliun (asumsi kurs Rp15.500/US$). Di sisi lain, utang perusahaan masih berada di level tinggi yaitu mencapai US$1,60 miliar atau setara Rp24,8 triliun.
Pada akhirnya, perusahaan masih mengalami defisiensi modal (ekuitas negatif) yang pada akhir tahun lalu nilainya semakin bengkak menjadi US$980 juta (Rp15,19 triliun).
Kewajiban jangka pendek Sritex tercatat US$ 131,42 juta (Rp2,04 triliun), dengan US$ 11,34 juta (Rp176 miliar) diantaranya merupakan utang bank jangka pendek ke Bank Central Asia (BBCA).
Di sisi lain, dari US$1,47 miliar (Rp22,78 triliun) kewajiban jangka panjang, sebesar US$ 810 juta (Rp12,55 triliun) adalah utang bank.
Mayoritas utang bank jangka panjang adalah utang eks sindikasi (Citigroup, DBS, HSBC dan Shanghai Bank) senilai US$330 juta. Selain itu BCA, Bank QNB Indonesia, Citibank Indonesia, Bank BJB, dan Mizuho Indonesia tercatat menjadi kreditur terbesar dengan besaran kewajiban SRIL masing-masing lebih dari US$ 30 juta.
Selain itu, terdapat perusahaan juga mempunyai utang pada 19 pihak pihak bank lain yang mayoritas adalah bank asing atau bank swasta milik asing.
Sebelum resmi dinyatakan pailit dalam putusan terbaru pengadilan Semarang, manajemen Sritex dalam laporan keuangan terbaru mengungkapkan bahwa perusahaan masih berupaya melakukan beberapa restrukturisasi atas beban utang yang membengkak pada banyak bank.
Selain itu perusahaan juga masih gencar menyelesaikan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan permintaan damai dengan para kreditur.*