Miliki Komoditas Timah Melimpah: Hanya 18% Anak Bangka Belitung yang Kuliah

Sidang lanjutan dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022, Kamis, 17/10/2024| Merinda Faradianti/ Forum Keadilan
Sidang lanjutan dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022, Kamis, 17/10/2024| Merinda Faradianti/ Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Direktur WALHI Bangka Belitung (Babel) Ahmad Subhan Hafiz menyebut, aktivitas tambang di Babel menyebabkan beberapa konflik, di antaranya masalah ekosistem, pendidikan, kesehatan, hingga sosial.

Kata Hafiz, dalam konteks ekonomi, hasil bumi Babel yang mengandung bijih timah memang memberikan dampak yang baik di masyarakat. Tetapi, dari konteks kesejahteraan masyarakat, banyak menimbulkan masalah serius.

Bacaan Lainnya

“Konteks kesejahteraan, banyak menimbulkan banyak kerugian, seperti merusak kesehatan, dan pendidikan,” katanya di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis, 17/10/2024.

Hafiz juga menyoroti dari segi pendidikan. Di mana, pendidikan di Babel masuk dalam kategori paling rendah di Indonesia.

Bahkan, kata Hafiz, hanya 18 persen saja dari masyarakatnya yang melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi.

“Warga Bangka pendidikannya masuk kategori terendah di Indonesia, artinya banyak warga Bangka yang nggak bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Jadi, timah bisa dibilang tidak menopang dalam konteks kesejahteraan masyarakat,” lanjutnya.

Menurut Hafiz, sektor pertambangan di sana banyak menimbulkan masalah yang sangat struktural. Sebab, banyaknya galian tambang yang tak disertai dengan reklamasi menimbulkan masalah beragam.

“Masalahnya sangat struktural, menganggap mencari uang itu gampang. Jadi, 18 persen saja masyarakatnya yang melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi, sisanya sampai SD,” sebutnya.

Aktivitas pertambangan sendiri, menurut Hafiz, telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Tak sedikit, lubang galian tambang menyerobot lahan kawasan hutan adat hingga wilayah pantangan,

“Kuncinya meminimalisir (pertambangan). Nggak ada pertambangan yang nggak merusak. Harus ada tanggung jawab reklamasi dan sosialnya,” ujarnya.*

Laporan Merinda Faradianti

Pos terkait