FORUM KEADILAN – Juru Bicara sekaligus Anggota Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata menyatakan bahwa kurangnya kesejahteraan hakim dapat meningkatkan risiko pelanggaran terhadap kode etik dan integritas hakim.
Oleh karena itu, Mukti menyebut bahwa lembaganya terus berupaya mendorong kinerja para hakim agar tetap mematuhi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
“Kurangnya kesejahteraan ini sangat berpotensi mendorong terjadinya pelanggaran kode etik dan integritas. Selain memilih hakim agung, KY juga bertugas untuk mengawasi para hakim,” ujar Mukti dalam audiensi bersama dengan Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Senin, 7/10/2024.
Mukti juga menyampaikan bahwa KY telah memantau kondisi hakim di berbagai daerah dan merasa prihatin karena banyak hakim yang belum mendapatkan fasilitas keamanan serta perumahan yang memadai.
“Ini menjadi perhatian serius bagi KY dan MA dalam mengawal upaya peningkatan kesejahteraan hakim,” ungkap Mukti.
Lebih lanjut, Mukti menyebutkan bahwa Ketua KY Amzulian Rifai telah melakukan pertemuan dengan Presiden RI terpilih Prabowo Subianto. Menurut Mukti, Prabowo merespons positif wacana peningkatan kesejahteraan hakim.
“Beberapa waktu lalu, KY bertemu dengan Presiden terpilih Pak Prabowo, dan kami berharap pemerintah eksekutif akan mendukung aspirasi para hakim,” tambah Mukti.
Dalam audiensi hari ini, turut hadir Wakil Ketua MA bidang Yudisial Sunarto, Wakil Ketua MA bidang Non Yudisial Suharto, Ketua Kamar Pembinaan MA Syamsul Maarif, Wakil Ketua KY Siti Nurdjannah, Jubir KY Mukti Fajar Nur Dewata, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata, dan Ketua Umum PP IKAHI Yasardin.
Sebelumnya, Solidaritas Hakim Indonesia berencana melakukan gerakan cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024. Hal ini untuk memperjuangkan kesejahteraan, independensi dan kehormatan lembaga peradilan di Indonesia.
Dalam tuntutannya, mereka meminta agar Presiden merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 yang tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di bawah MA untuk menyesuaikan gaji dan tunjangan hakim sesuai dengan standar hidup layak.
Selain itu, mereka juga meminta Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) untuk memperjuangkan RUU Jabatan Hakim agar kembali dibahas dalam Prolegnas. Hal ini guna mengatur kerangka hukum yang komprehensif dan berkelanjutan.
Adapun permasalahan yang dibawa dalam audiensi hari ini ialah terkait gaji dan tunjangan yang tidak memadai, inflasi yang terus meningkat, tunjangan kinerja hilang sejak 2012, tunjangan kemahalan yang tidak merata, beban kerja dan jumlah hakim yang tidak proporsional, kesehatan mental, harapan hidup hakim menurun, rumah dinas, dan fasilitas transportasi yang tidak memadai.*
Laporan Syahrul Baihaqi