FORUM KEADILAN – Koalisi Tolak Tambang mengajukan uji materi Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 terkait pemberian prioritas izin tambang bagi organisasi masyarakat keagamaan ke Mahkamah Agung (MA).
Sebanyak 18 Pemohon yang terdiri dari 6 kelembagaan dan 12 perorangan yang tergabung dalam Koalisi Tolak Tambang, di antaranya ialah Jaringan Anti Tambang (Jatam) Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Inayah Wahid dan beberapa organisasi serta tokoh masyarakat lainnya.
Dalam permohonannya, Tim Advokasi Tolak Tambang mendalilkan bahwa PP tersebut bukan hanya cacat secara hukum, namun juga berpotensi menjadi arena transaksi (suap) politik.
Perwakilan Kuasa Hukum Para Pemohon M Raziv Barokah menyebut bahwa Koalisi berupaya untuk menyelamatkan ormas keagamaan dari pusaran energi kotor pertambangan dan juga menjaga kelestarian lingkungan hidup dari kerusakan.
“Peluru atau perunggu yang ditawarkan pemerintah pada akhirnya akan membungkam ormas keagamaan yang seharusnya tujuan utamanya adalah memberikan pembinaan kepada masyarakat, melindungi umat, justru mereka akan bekerja dengan sebaliknya, dengan alat transaksi berupa izin tambang” kata Raziv kepada wartawan di luar Gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa, 1/10/24.
Raziv lantas mempertanyakan motif pemerintah yang membuat aturan yang memberikan prioritas untuk melakukan pertambangan kepada ormas keagamaan.
Menurut Raziv, pemberian izin tambang tanpa lelang menyalahi Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
“Tidak ada penjelasan hukum apapun yang bisa membenarkan itu selain ini adalah bentuk daripada plomo plata,” katanya.
Raziv berpandangan bahwa pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan tersebut, selain akan merusak lingkungan sekitar, juga berpotensi besar memicu konflik horizontal antara masyarakat adat dan ormas terkait.
Selain itu, sangat tidak tepat, bila izin tambang diberikan kepada ormas keagamaan yang secara kelembagaan tujuannya bukan untuk mencari keuntungan, melainkan bersifat sosial yang jauh dari nilai-nilai bisnis.
“Ke depan, tambang akan dijadikan alat favorit sebagai komoditas transaksi, bisa jadi akan diberikan kepada entitas-entitas lain,” lanjutnya.
Raziv mewanti-wanti bahwa hal serupa juga akan dilakukan pemerintah kepada organisasi masyarakat lain, seperti ormas pemuda, ormas profesi dan ormas industri guna membungkam suara kritis masyarakat.
Langkah Mundur
Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah, dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Wahyu Agung Perdana menyebut bahwa gugatan tersebut merupakan itikad baik untuk melakukan upaya korektif terhadap PP 25/2024.
Agung mencatat bahwa yang diberikan kepada ormas keagamaan hanyalah Izin Usaha Pertambangan (IUP) Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara atau PKP2B. Apalagi, kata dia, hanya terdapat delapan PKP2B yang berakhir tahun ini.
“Itu punya catatan karena buat kami, dengan jangka waktu yang dibatasi hanya lima tahun, punya kerentanan sebagai risywah politik,” tuturnya.
Selain itu, kata Agung, pemberian izin pertambangan juga bertentangan dengan rencana jangka panjang soal transisi energi. Seharusnya, pemerintah harus melakukan pemulihan lingkungan hidup, bukan justru memberikan IUP Tambang pada ormas keagamaan.
Padahal, kata Agung, tujuan ormas dalam Undang-Undang salah satunya ialah melakukan upaya perlindungan lingkungan hidup. Apalagi, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga memiliki rekam jejak yang baik dan terlibat aktif dalam melakukan Advokasi terhadap korban-korban tambang.
Jika dibiarkan, Agung menyebut bahwa hal ini akan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap masyarakat di sekitar kawasan pertambangan, mulai dari dampak ekonomi, sosial, lingkungan hidup dan juga berdampak kepada kaum perempuan.
“Kalau kemudian itu diberikan terhadap organisasi masyarakat keagamaan, justru akan jadi langkah balik,” tuturnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi