FORUM KEADILAN – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menolak seluruh calon hakim agung dan hakim ad hoc Hak Asasi Manusia pada Mahkamah Agung (MA) tahun 2024. Penolakan 12 calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY) dibacakan dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani.
“Apakah laporan Komisi III yang memutuskan tidak menyetujui seluruh calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM pada MA tahun 2024 dapat disetujui dan ditetapkan?” tanya Puan dan lantas disepakati oleh anggota dewan lainnya, Selasa, 10/9/2024.
Awalnya, Wakil Ketua Komisi III Pangeran Khairul Saleh membacakan laporan hasil rapat pembahasan Komisi III soal proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) para calon yang telah dibahas pada 28 Agustus lalu.
Dalam rapat internal tersebut, Komisi III menyimpulkan bahwa terdapat dua calon yang terbukti tidak memenuhi persyaratan sebagai hakim agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA, di mana syarat sebagai hakim agung harus berpengalaman paling sedikit 20 tahun sebagai hakim.
Untuk diketahui, kedua calon tersebut ialah L.Y. Hari Advianto dan Tri Hidayat Wahyudi untuk hakim agung kamar Tata Usaha Negara (TUN) khusus pengadilan pajak yang tidak memenuhi persyaratan administrasi.
“Berdasarkan pendapat dan pandangan 9 fraksi, Komisi III menyepakati untuk tidak menyetujui seluruh calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM pada MA tahun 2024 yang diajukan oleh KY,” ucap Pangeran.
Menurut Pangeran, fit and proper test terhadap calon hakim agung merupakan rangkaian dalam memberikan persetujuan. Selain itu, Komisi III juga menilai bahwa pengalaman, wawasan kebangsaan, integritas dan moral calon hakim agung merupakan prasyarat penting untuk menjadi hakim agung di MA.
Pada kesempatan terpisah, anggota Komisi III dari Fraksi PPP Achmad Baidowi (Awiek) mengatakan bahwa penolakan terhadap usulan KY tersebut karena seluruh calon hakim agung dinilai tidak memenuhi kriteria. Ia pun membantah diskresi yang digunakan KY untuk meloloskan dua calon hakim TUN khusus Pajak.
“DPR punya kewenangan, yang bentuk DPR siapa? Kalau KY enggak ikut DPR ya ngapain itu,” tuturnya.
Ketika ditanyai terkait adanya rumor penolakan seleksi hakim agung karena ada calon rekomendasi DPR yang tidak lolos, Awiek enggan merespons hal tersebut. Ia lantas kembali menegaskan bahwa penolakan calon hakim agung karena dianggap tidak layak.
“Yang jelas penolakan calonnya tidak layak, semuanya tidak layak. Kalau layak pastinya dilolosin semua sama DPR, karena tidak layak ya enggak kita calonkan. Bilang ke KY itu, calon yang Anda rekomendasikan tidak layak, maka kemudian DPR menolak,” katanya.
KY Kirim Surat Tambahan ke DPR
Komisi Yudisial (KY) menyatakan bahwa proses seleksi calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan Peraturan Perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Di samping itu, KY juga telah menyampaikan surat resmi kepada pimpinan DPR RI untuk memberikan keterangan tambahan usulan calon hakim agung dan calon hakim ad hoc ham pada Jumat, 6/9 pagi.
Wakil Ketua KY Siti Nurjanah menghormati wewenang masing-masing lembaga dalam proses seleksi calon hakim agung untuk MA tahun 2024.
“Komisi Yudisial telah mengirimkan surat kepada DPR untuk menyampaikan klarifikasi atas kekeliruan persepsi bahwa terdapat pelanggaran aturan pada seleksi calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM di Mahkamah Agung yang disampaikan tadi pagi,” kata Siti.
Menurut Siti, langkah tersebut diambil guna membangun kembali komunikasi dengan DPR untuk meluruskan kesalahan persepsi yang beranggapan bahwa proses seleksi calon agung, khususnya dua calon hakim agung untuk Kamar Tata Usaha Negara (TUN) khusus Pajak tidak memenuhi syarat administrasi, yaitu berpengalaman menjadi hakim selama 20 tahun.
“KY akan terus berkoordinasi dengan DPR RI agar keterangan tambahan yang ada dalam surat yang tadi pagi kita kirim ke DPR ini dapat menjadi pertimbangan, sehingga calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dapat disetujui untuk diangkat menjadi hakim agung,” katanya.
Apalagi, kata Siti, proses seleksi calon hakim agung telah memakan waktu selama enam bulan dan mengeluarkan anggaran negara yang tidak sedikit.
Selain itu, Siti juga meminta DPR untuk mempertimbangkan bahwa Mahkamah Agung masih terdapat kekurangan di hakim agung di mana hal ini akan menyebabkan penumpukan perkara di MA.
Berdasarkan data yang dimiliki KY pada 2023, dari sebanyak 7.979 perkara Peninjauan Kembali di kamar TUN MA, sebanyak 88,65 persen adalah perkara pajak. Sedangkan hakim agung hanya berjumlah 7 hakim, dan hanya 1 hakim yang memiliki spesifikasi keahlian di bidang pajak.
Selain itu, masing-masing hakim agung di Kamar TUN MA menanggung beban perkara sebanyak 3.420 perkara per tahunnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi