Sabtu, 14 Juni 2025
Menu

Seleksi Calon Hakim Agung Dibatalkan DPR, KY: Diskresi Sesuai Prosedur

Redaksi
Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata di Gedung KY | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata di Gedung KY | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata merespons langkah Komisi III DPR yang membatalkan proses seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc hak asasi manusia tahun 2024.

Mukti menyebut bahwa seleksi calon hakim untuk Mahkamah Agung (MA) sudah sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku.

“Dua calon hakim agung Kamar TUN Khusus Pajak yang tidak memenuhi syarat tersebut, merupakan keputusan pleno untuk melakukan kelonggaran persyaratan administrasi atau diskresi berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” ucap Mukti melalui keterangan tertulis, Kamis, 29/8/2024 malam.

Mukti mengklaim bahwa diskresi yang dilakukan panitia seleksi calon hakim agung untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintah, mengisi kekosongan hukum dan memberikan kepastian hukum sebagaimana ketentuan Pasal 22 Undang-Undang (UU) Nomor 30/2004.

Untuk diketahui, dalam seleksi calon hakim agung di Komisi III pada Selasa, 27/8, DPR beralasan bahwa pembatalan tersebut karena adanya dua calon hakim agung untuk Kamar Tata Usaha Negara (TUN) khusus Pajak yang dinilai tidak memenuhi persyaratan.

Adapun kedua calon itu, yakni L.Y. Hari Advianto dan Tri Hidayat Wahyudi untuk hakim agung kamar pengadilan pajak.

Secara hukum, kata dia, UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA mengatur ketentuan bahwa hakim agung harus memiliki pengalaman menjadi hakim paling sedikit 20 tahun.

Namun, pengadilan pajak baru dibentuk pada 2002. Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, syarat usia minimal hakim pajak ialah 45 tahun.

“Dengan demikian, tidak ada hakim pajak berpengalaman 20 tahun menjadi hakim. Menurut data KY, hakim paling senior di Pengadilan Pajak hanya mempunyai pengalaman 15 tahun sebagai hakim,” katanya.

Di samping itu, Mukti menegaskan bahwa kebutuhan MA akan hakim agung TUN khusus pajak sangat mendesak, dengan jumlah tumpukan perkara sebanyak 7000 lebih. Apalagi, saat ini, MA hanya memiliki 1 orang Hakim Agung TUN Khusus Pajak.

“Sementara pendaftar calon hakim agung Kamar TUN khusus Pajak terbatas, sehingga diskresi tersebut diperlukan untuk memenuhi kebutuhan MA,” ungkapnya.

Mukti juga mengatakan bahwa diskresi serupa pernah terjadi pada seleksi calon hakim agung pada periode sebelumnya terkait pengangkatan 4 hakim agung Kamar Militer yang belum memenuhi syarat pengalaman 20 tahun.

Setelahnya, kata Mukti, KY sedang menunggu surat resmi dari Komisi III DPR RI tentang penolakan semua calon hakim agung dan calon hakim ad hoc hak asasi manusia di MA tahun 2024. Surat tersebut nantinya akan dibawa ke rapat pleno untuk menentukan sikap kelembagaan KY.*

Laporan Syahrul Baihaqi