FORUM KEADILAN – Keluarga korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) asal Serang, Banten, menyambangi Bareskrim Polri, Kamis, 15/8/2024.
Keluarga korban TPPO hadir didampingi oleh lembaga Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pijar Harapan Rakyat yang didukung IOM Indonesia.
Adapun kedatangan mereka untuk menindaklanjuti pengaduan pada 29 Juli 2024 mengenai empat AKP yang melompat dari KM Sumber Rizqi-A milik PT Mina Samudra Rejeki, yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Mereka diduga menjadi korban TPPO oleh korporasi pelayaran asal Jawa Tengah (Jateng).
Korban adalah DS, MS, IL, dan AH. Mereka direkrut untuk menangkap cumi berdasarkan informasi dari rekan-rekannya. Mereka meninggalkan rumah sejak 9 Juni 2024.
Berdasarkan perjanjian awal, para korban seharusnya mendapatkan gaji Rp3.500.000 per bulan dan kasbon Rp6.000.000 di awal, dengan fasilitas makan dan rokok ditanggung calo. Namun, setelah tiba di rumah penampungan di Brebes, Jateng, mereka diberitahu bahwa akan bekerja selama 7 bulan dengan gaji berbeda dari yang dijanjikan.
Perekrutan dilakukan dengan penahanan KTP tanpa penandatanganan Perjanjian Kerja Laut (PKL). Penahanan KTP dilakukan sebelum mereka dijemput untuk bekerja di kapal perikanan di Banyuwangi, Jawa Timur.
Di kapal KM Sumber Rizqi-A, empat AKP itu dijanjikan upah sistem bagi hasil. Namun, kenyataannya mereka bekerja dalam kondisi tidak layak dan sering tidak menerima hak makanan mereka.
Setelah dua bulan bekerja dalam kondisi yang tidak sesuai perjanjian, keempat AKP melompat dari kapal di Laut Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, atau sekitar 90 km dari daratan. Hal tersebut lah yang diduga memicu DS, MS, IL, dan AH melompat di perairan Banyuwangi.
Istri salah satu AKB tersebut, berinisial K, menjelaskan bahwa suaminya sempat mengeluh tentang kondisi kerja di kapal dan ingin pulang karena tidak sesuai dengan perjanjian awal.
“Suami saya sempat telepon kemarin pas di atas kapal kalau dia nggak digaji, terus ternyata pas telepon itu ada juga yang marah-marah. Abis itu saya dikontak lagi katanya suami saya udah lompat dari kapal, padahal sebelumnya mereka minta tebusan Rp850.000/orang karena suami saya mau pulang,” kata K di Bareskrim, Kamis.
Kuasa hukum korban yang juga Public Interest Lawyer dari DFW Indonesia, Guntur, melihat bahwa kasus ini merupakan salah satu dari banyak kejadian akibat tidak jelasnya sistem perekrutan AKP di Indonesia.
“Berdasarkan laporan yang kami terima, memang ada ketidakwajaran dalam sistem perekrutan AKP, di mana hal ini dalam struktur perekrutan AKP di Indonesia sering kali terjadi dan perlu untuk dibenahi bersama, khususnya dalam kasus ini telah menimbulkan korban,” ujar Guntur.
Kuasa hukum lainnya dari Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno turut menyebut bahwa kasus ini tidak bisa dipandang sebagai kasus biasa.
“Laporan yang kami ajukan bersama keluarga korban hari ini diduga kuat adalah kasus tindak pidana perdagangan orang karena tiga unsur TPPO sudah terpenuhi, yang mana dalam pelaporannya kami akan menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juncto Pasal 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 karena kami menduga kuat bahwa perekrutan, pengangkutan, pemindahan dan penempatan para AKP dilakukan oleh korporasi dengan penyalahgunaan kekuasaan dan memperdaya posisi rentan para AKP,” ucapnya.
“Kami tegaskan Ini bukan kasus biasa, ini berbicara tentang empat nyawa manusia dan berbicara tentang keluarga yang ditinggalkan pula,” sambung Hariyanto.
Lebih lanjut, keluarga korban berharap bisa segera dilakukan pencarian untuk keempat AKP tersebut.
“Entah masih hidup atau bagaimana, biar ada kejelasan bagi kami yang ditinggalkan,” pungkas K.*
Laporan Reynaldi Adi Surya