FORUM KEADILAN – Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Polisi Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, puluhan wanita asal Indonesia yang dijual jadi PSK (pekerja seks komersial) di Sydney, Australia, dipaksa kerja selama 10 sampai 12 jam dalam sehari.
Mereka diharuskan bekerja minimal 20 hari dalam sebulan. Namun, tak diungkap nominal upah yang diterima oleh korban.
“Gaji satu bulan pertama ditahan sampai (tiga bulan atau kontrak selesai), jam kerja 10 sampai 12 jam perhari, kerja minimal 20 hari perbulan,” kata Djuhandani dalam keterangan tertulis di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 23/7/2024.
Djuhandani menuturkan, pengungkapan kasus tersebut berawal dari salah satu file draft perjanjian kerja antara tersangka FLP (36) dengan korban yang disita pihak polisi. Kata Djuhandani, para korban juga diminta menandatangani surat perjanjian utang piutang.
Sehingga, para korban harus membayar uang senilai Rp50 juta kalau memutus kontrak kerja secara tetiba dalam kurun waktu tiga bulan sejak pertama bekerja.
“Perjanjian kerja diberikan kepada calon PSK sebelum berangkat ke Sydney, Australia untuk ditandatangani. Iming-iming gaji di sana (Sydney) cukup tinggi dan ini variatif,” imbuhnya.
Sebelumnya, bekerja sama dengan Australian Federal Police (AFP) Polri mengungkap Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang mengirim sejumlah wanita asal Indonesia ke Sydney, Australia, untuk dijual jadi PSK.
“Pagi ini kami akan menyampaikan press conference penanganan tindak pidana perdagangan orang dengan modus membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Republik Indonesia,” jelas Djuhandani.
Djuhandani mengungkapan, terbongkarnya kasus ini berawal ketika Korps Bhayangkara mendapatkan informasi dari AFP pada September 2023 soal adanya sejumlah WNI dikirim ke Sydney tapi jadi PSK.
Kemudian, ditangkap lah seorang wanita berusia 36 tahun berinisial FLA, sehingga yang bersangkutan dicokok di perumahan yang terletak di wilayah Kalideres, Jakarta Barat.
“Yang bersangkutan berperan sebagai perekrut korban, menyiapkan visa dan tiket keberangkatan korban ke Sydney,” terang Djuhandani.
Dari hasil penggeledahan di rumah tersangka FLA, polisi menyita satu paspor, dua buku tabungan, dua ATM, tiga handphone, satu laptop, satu hardisk, dan 28 paspor milik WNI yang saat ini tengah didalami apakah milik korban.
Polisi juga menemukan catatan pembayaran dan pemotongan gaji yang dikirim korban yang sudah bekerja sebagai PSK di Sydney.
Selain itu, ditemukan juga file draft perjanjian kerja sebagai PSK yang berisi biaya sewa tempat tinggal, gaji bulan pertama ditahan, aturan jam kerja dan surat perjanjian utang piutang sebesar Rp50 juta.
“Kontrak kerja dibuat sebagai jaminan apabila para korban tidak bekerja dalam kurun waktu 3 bulan maka harus membayar utang tersebut,” lanjutnya.
Dari pengakuan tersangka, dirinya telah melakukan aktivitas ini sejak 2019 dengan total 50 WNI yang diberangkatkan untuk menjadi PSK di Australia.
“Tersangka mendapatkan keuntungan Rp500 juta,” katanya.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp600 juta.
“Kami akan terus bekerja sama dengan AFP, Divhubinter Polri dan Kemlu untuk menelusuri tersangka lainnya dan membantu mengidentifikasi para korban yang telah diberangkatkan oleh jaringan ini,” tandasnya.*
Laporan Ari Kurniansyah