Sebenar-benarnya Reforma Agraria

Peneliti Pangan, Desa, dan UMKM Sigmaphi Research Muhammad Nalar Al Khair. | Ist
Peneliti Pangan, Desa, dan UMKM Sigmaphi Research Muhammad Nalar Al Khair. | Ist

Muhammad Nalar Al Khair

Peneliti Pangan, Desa, dan UMKM Sigmaphi Research

Bacaan Lainnya

FORUM KEADILAN – Pencapaian program reforma agraria oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam rapat kerja bersama dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada 2 Juli 2024, perlu diberi catatan kritis.

AHY mengungkapkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, keseluruhan program reforma agraria telah mencapai 12,5 juta ha atau sebesar 138 persen dari rencana semula. Tentu saja, capaian itu terbilang menakjubkan.

Program redistribusi tanah dalam reforma agraria ditargetkan untuk 4,5 juta ha. Target redistribusi tanah yang bersumber dari eks Hak Guna Usaha (HGU), tanah terlantar, dan tanah negara lainnya adalah 0,4 juta ha dan sudah tercapai hingga 1,4 juta ha untuk 2,2 juta bidang.

Capaian itu setara 358,38 persen dari target semula. Sayang, untuk redistribusi tanah yang bersumber dari pelepasan kawasan hutan, yang terlaksana baru 0,38 juta ha atau 9,3 persen dari target 4,1 juta ha. Secara keseluruhan, redistribusi tanah baru terlaksana 1,78 juta ha atau 43,41 persen dari target 4,5 juta ha

Pencapaian redistribusi tanah selama nyaris sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang hanya 43,41 persen itu, agak patut disayangkan. Apalagi, tanah yang sudah dapat diredistribusikan sebenarnya merupakan tanah yang sudah diusahakan, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Riset yang dilakukan Utami, Salim, Mujiati (2018) menyatakan, reforma agraria masih sulit dalam meredistribusikan tanah yang sifatnya fresh land, yang sudah dilepaskan Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), karena verifikasi atas data tanah dan data calon penerima yang tidak juga tuntas.

Proses verifikasi itu harus dilakukan bersama oleh Kementerian ATR/BPN dan KLHK. Di sini, lagi-lagi, koordinasi menjadi masalah.

Riset yang sama juga menyatakan, lokasi tanah objek reforma agrarian (TORA) masih banyak yang belum terpetakan secara spasial, baik dari segi hukum maupun letak tanda batas. Ada juga masalah dalam aksesibilitas, kondisi morfologis, dan kondisi geografis TORA. Belum jelas pula, potensi pemanfaatan TORA tersebut ke depannya.

Kendala semacam itulah yang membuat riuhnya pemberitaan tentang reforma agraria, pada pertengahan 2024 ini, tak menjawab masalah makin minimnya lahan pertanian yang bisa diusahakan petani Indonesia.

Yang malah terjadi, data lembaga riset Auriga dalam Laporan Tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2023 menyatakan, luasan lahan sawah di Indonesia pada tahun 2022 tersisa 9,88 juta hektar. Itu artinya, ada penurunan 0,9 juta hektar dibandingkan tahun 2014.

Kini Presiden sudah mengeluarkan Perpres 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Dalam aturan tersebut, pemerintah daerah didorong lebih aktif dalam reforma agraria.

Realisasi reforma agraria dijadikan salah satu indikator kinerja pemerintah daerah. Mudah-mudahan, program reforma agraria ini bisa semakin baik lagi dan dilanjutkan lebih serius oleh Presiden Prabowo Subianto setelah Oktober 2024 kelak.

Bukan apa-apa, tanpa reforma agraria, nasib petani kita akan terancam kian suram. Badan Pusat Statistik (BPS), melalui Sensus Pertanian 2023, menyatakan, ada 17,2 juta petani gurem di Indonesia.

Petani gurem adalah mereka yang mengusahakan lahan kurang dari 0,5 ha. Padahal, di tahun 2013, jumlah petani gurem baru 14,2 juta orang. Jadi, dalam 10 tahun, jumlah petani gurem meningkat 21 persen. Redistribusi tanah harusnya bisa mengurangi jumlah petani gurem sehingga petani lebih sejahtera, seperti sejawat mereka di negara-negara lain.

Di Jepang, reforma agraria juga dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan sosial dan ekonomi. Ada sekitar 1,9 juta ha lahan diambil dari para tuan tanah dan dibagikan ke petani (Kosaka, 1982. Takigawa, 1972). Program sejak 1946 ini berhasil menghapus kendali tuan tanah atas lahan (Pratama dan Rustam 2022). Tuan tanah masih boleh memiliki 5 ha lahan untuk kepentingan pribadi (Grad, 1948).

Tentu saja, ada tantangan besar dalam proses Reforma Agraria di Jepang. Utamanya karena banyak politisi di parlemen juga merupakan tuan tanah besar (Dore, 1965). Tapi kaisar dan pemerintah sangat serius. Masyarakatnya juga memberikan dukungan kuat. Mereka bisa bersikap sangat konsekuen. Maka, program itu berhasil dan petani Jepang kini jauh lebih sejahtera dibandingkan sebelum perang dunia II.

Keseriusan Jepang perlu dijadikan contoh bagi Indonesia. Apalagi, pada 2023 lalu, Indonesia diterpa hantaman El Nino yang menyebabkan turunnya produksi pangan beras. Indonesia pun terpaksa mengimpor 3 juta ton beras pada 2023 itu. Hingga 2024 ini, pemerintah akan mengimpor beras jauh lebih besar lagi sekitar 5 juta ton. Kalau saja reforma agraria sudah efektif, tentu produksi beras akan meningkat sehingga tak perlu lagi impor sebanyak itu.

Tidak hanya beras, redistribusi lahan juga dapat digunakan untuk pertanian tanaman lain yang memiliki peluang besar.

Kakao misalnya, yang memiliki potensi ekspor yang besar. Menurut data International Trade Centre, pada 2022 India melakukan impor kakao dan produk turunannya dari Indonesia sebesar US$ 226 juta. Itu merupakan kenaikan lebih dari 119 kali lipat dari tahun 2004 yang baru US$ 1,9 juta. Begitu pun impor kakao AS dari Indonesia juga naik dari US$ 165 juta (2004) menjadi US$ 187 juta (2022).

Kalau saja petani kakao punya lahan lebih banyak, hasil dari reforma agraria, tentu kebutuhan kakao bisa kita penuhi sendiri, dan bahkan bisa lebih banyak kita ekspor.

Presiden terpilih Prabowo Subianto benar-benar perlu mengupayakan agar reforma agraria ini efektif. Atasi benar kendala program ini satu per satu.

Ketika lahan pelepasan kawasan hutan masih sulit diverifikasi, petranya tidak jelas, aksesnya dan morfologi serta geografinya sulit, atau potensi pengolahannya masih tanda tanya, coba lakukan terobosan yang lebih konkret. Misalnya, Presiden Prabowo membagi sebagian lahan HGU-nya yang luas–yang sudah oke secara pemetaan, aksesibilitas, morfologi, kondisi geografi, dan potensinya– kepada para petani.

Setelah itu, sesuai program orisinil reforma agraria, lanjutkan dengan access reform berupa pemberdayaan masyarakat pasca-legalisasi tanah. Jangan mereka ditinggal begitu saja. Dengan demikian, program reforma agraria, sebenar-benarnya, dapat memangkas ketimpangan kepemilikan lahan dan ketimpangan pendapatan di negeri ini.*

Pos terkait