FORUM KEADILAN – Desakan mundur kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menggema di media sosial. Desakan itu muncul sebagai respons terhadap serangan siber berupa Brain Cipher Ransomware terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2.
Budi Arie yang sekaligus Ketua Umum relawan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Projo itu dianggap minim pertanggungjawaban lantaran tak segera terbuka kepada publik atas apa yang sebenarnya terjadi di PDN.
Desakan mundur itu diinisiasi oleh SAFEnet yang dilakukan dengan cara mengumpulkan tanda tangan petisi melalui laman Change.org dengan target 15.000 tanda tangan. Sejak desakan itu dibuat pada 26 Juni 2024 hingga saat ini, Sabtu, 29 Juni 2024, sebanyak 11.464 tanda tangan berhasil dikumpulkan.
Kronologis serangan siber cipher ransomware terhadap PDN menurut SAFEnet terjadi sejak Senin, 17 Juni 2024 sekitar tengah malam. Tiga hari kemudian, PDN mulai mengalami infeksi perangkat lunak berbahaya (malicious software) atau malware.
Puncaknya, PDN mulai tidak bisa diakses sejak Kamis, 20 Juni 2024. Akibatnya, layanan publik yang menggunakan data dari PDN pun tidak bisa diakses, termasuk layanan Imigrasi.
“Namun, meskipun serangan siber sudah terjadi selama tiga hari, pemerintah tidak segera menyampaikan situasi tersebut kepada publik. Pemerintah lebih banyak diam dan tidak terbuka kepada publik tentang apa yang terjadi,” tulis SAFEnet di laman Change.org, yang dikutip pada Sabtu, 29/6/2024.
Seharusnya, serangan siber tersebut harus segera disampaikan kepada publik, sebab dampak dari serangan itu dapat menyebabkan kebocoran data milik publik.
Kemudian seminggu setelah serangan itu terjadi, tepatnya pada Senin, 24 Juni 2024, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) angkat suara serta menyampaikan situasinya.
Dalam kesempatan itu, Ketua BSSN Hinsa Siburian mengatakan bahwa serangan terhadap PDN terjadi dalam bentuk ransomware Brain Cipher, varian terbaru dari LockBit 3.0.
Akibat serangan siber itu, setidaknya 282 instansi pemerintah pengguna PDN menjadi korban. Hal ini dianggap menimbulkan efek domino lumpuhnya pelayanan publik dan rentannya data warga masyarakat yang dipercayakan ke institusi pemerintah.
“Hingga Rabu, 26 Juni 2024 pukul 11.11 WIB, belum ada penjelasan lengkap mengenai kejadian tersebut, termasuk kronologi, dampak, dan penanganan yang dilakukan. Tidak ada juga pertanggungjawaban lebih jelas dari Kominfo terkait serangan siber tersebut,” ujarnya.
Menurut SAFEnet, serangan serangan siber ini bukan lah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, serangan siber dan kebocoran data pribadi juga terjadi pada sejumlah lembaga pemerintah, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan lainnya.
Data penduduk yang ada dalam situs pemerintah tersebut kemudian dijual melalui forum jual beli, data itu mencakup nama lengkap, tanggal lahir, jenis kelamin, nomor induk kependudukan (NIK), dan alamat lengkap.
Dalam catatan SAFEnet, selama dua tahun terakhir terjadi kebocoran data pribadi setidaknya 113 kali, yaitu 36 kali pada 2022 dan 77 kali pada 2023. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan temuan lembaga keamanan siber Surfshark yang menemukan lebih dari 143 juta akun di Indonesia menjadi korban kebocoran data hanya sepanjang 2023.
Dengan semua catatan tersebut membuat Indonesia berada di urutan ke-13 secara global sebagai negara yang paling banyak mengalami kebocoran data.
“Untuk itu, Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi harus mundur sebagai pertanggungjawaban dan meminta maaf secara terbuka terhadap situasi ini,” tandasnya.
Residu Pilpres 2024
Desakan mundur yang menggema di jagat media sosial itu ditanggapi secara negatif oleh Projo, organisasi masyarakat yang dinakhodai oleh Budi Arie. Bahkan, desakan mundur itu dianggap sebagai serangan politis dari kelompok yang kalah pada Pilpres 2024 lalu.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Projo DPP Projo Handoko menyebut, kelompok yang kalah pada pilpres 2024 dianggap menunggangi ramainya serangan siber ransomware dengan cara menyudutkan pemerintah.
“Projo sangat prihatin atas sikap sebagian tokoh di media sosial yang mempolitisasi dan memanfaatkan kasus ransomware PDNS milik Telkom untuk menyerang Menkominfo Budi Arie Setiadi dengan tujuan-tujuan politik sempit. Mereka memilih secara aktif menyudutkan pemerintah dan membuat kekeruhan opini publik,” kata Handoko di Kantor DPP Projo, Jakarta Selatan, Jumat, 28/6.
Selain untuk memperkeruh suasana, Handoko menilai, barisan sakit hati yang meminta Budi Arie mundur dapat mengganggu pemerintah dalam pemulihan PDN serta dalam perang melawan judi online.
Tidak hanya itu, Handoko juga menganggap bahwa gerakan politis residu pilpres itu dapat menguntungkan pihak-pihak yang menjadi motor kejahatan siber, seperti judi online bebas meraup keuntungan dengan menghisap uang rakyat.
“Menunjukkan bahwa kelompok tokoh ini berasal dari sisa-sisa pendukung capres yang kalah pada pilpres Februari 2024 lalu. Tidak menggambarkan kedewasaan berpolitik dari pengamatan atas kata-kata yang digunakan,” bebernya.
Dalam kesempatan yang sama, Bendahara Umum (Bendum) DPP Projo Panel Barus menilai, desakan mundur terhadap Budi Arie tidak masuk akal.
“Logika sederhananya, kalau saya diminta oleh Presiden untuk memimpin pertempuran, masak di saat serangan terjadi masak disuruh kabur? Gitu loh logikanya,” kata Panel.
Menurut Panel, seorang komandan tidak boleh mundur. Sekeras apa pun serangan harus dihadapi dan tetap bertempur hingga menang.
“Ini perang terjadi, kita diserang, lalu komandan perangnya disuruh kabur. Kalau saya pribadi sebagai komandan, saya akan hadapi ini serangannya. Masak iya kabur dari medan tempur?” pungkasnya.*
Laporan M. Hafid