FORUM KEADILAN – Mantan Hakim Konstitusi mengkritik rencana pemerintah dan DPR untuk mengesahkan perubahan ke-4 UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) di rapat sidang paripurna mendatang.
Kritik tersebut dilontarkan oleh Eks Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan juga Hamdan Zoelfa dalam acara diskusi bertajuk ‘Sembunyi-Sembunyi Revisi UU MK Lagi’ yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Kamis 16/5/2024.
Salah satu kritik terhadap revisi tersebut ialah mengenai pasal peralihan yang tertuang dalam Pasal 87 UU MK. Pasal ini mengatur aturan peralihan terkait hakim konstitusi yang tengah menjabat saat ini.
Pada huruf ‘a’ diatur bahwa hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun dapat melanjutkan jabatannya setelah mendapat persetujuan dari lembaga pengusul.
Sementara pada huruf ‘b’ dijabarkan bahwa hakim yang sedang menjabat dan masa jabatannya lebih dari 10 tahun, masa jabatannya berakhir pada usia 70 tahun. Namun, hakim tersebut harus mendapat persetujuan dari lembaga pengusul.
Ketua MK periode 2013-2015 Hamdan Zoelfa menilai, pasal peralihan tersebut akan mengancam 2 hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih. Selain itu, terdapat kontradiksi antara pasal 87(b) dengan pasal 23 UU MK yang mengatur bahwa masa jabatan hakim berakhir pada usia 70 tahun.
“Ini ada contrario interninis. Masa jabatan ditegaskan 10 tahun, tapi ada yang sudah 10 tahun diberikan masa jabatan yang lebih lama lagi,” ucap Zoelfa dalam acara diskusi tersebut.
Ia pun mempertanyakan alasan munculnya pasal peralihan yang dianggap bertentangan dengan pasal 23A RUU MK. Terlebih, ia melihat tidak ada ketentuan lebih jauh mengenai aturan tersebut.
“Ini benar-benar kontradiksi di dalamnya. Undang-undang memastikan masa jabatan 10 tahun, tapi hakim yang sekarang sudah sepuluh tahun masih diberikan kemungkinan lagi untuk masa jabatan selanjutnya. Masalahnya sampai kapan?” tuturnya.
Untuk diketahui, terdapat dua hakim MK yang telah menjabat selama lebih dari sepuluh tahun. Kedua hakim tersebut ialah Eks Ketua MK Anwar Usman yang telah menjabat selama 13 tahun dan juga Arief Hidayat yang telah menjabat selama 11 tahun.
Ia juga menilai substansi perubahan ke-4 revisi UU MK tidak hanya mengancam independensi MK, melainkan juga prinsip dasar untuk negara hukum.
Ia berharap para pembentuk undang-undang membatalkan revisi tersebut. Namun ia pesimis, apalagi, jika pembahasan tingkat I telah disepakati, maka dalam sidang paripurna berikutnya akan segera disahkan.
“Belum ada sejarahnya terjadi penolakan di paripurna. Jadi sekarang, pasti akan kembali ke MK dan akan terjadi ketegangan baru antara MK dengan pembentuk UU,” katanya.
Ancam Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman
Kritik senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi periode 2003-2020 I Dewa Gede Palguna. Ia mengatakan aturan peralihan merupakan peraturan yang aneh, karena hakim konstitusi yang masa jabatannya telah lewat dari 10 tahun dapat menjabat kembali sepanjang mendapat persetujuan.
“Pada pasal 23A ayat 1 mengatakan jabatan hakim konstitusi itu 10 tahun dan bisa dievaluasi. Sementara yang sudah lewat masa jabatannya masih bisa diteruskan kalau ada konfirmasi (dari lembaga pengusul). Itu gimana logikanya,” tutur Palguna.
Selain itu, ia bertanya-tanya, kenapa salah satu lembaga peradilan tertinggi harus memiliki lembaga pengonfirmasi? Menurutnya, di negara-negara lain yang memiliki MK, tidak tertuang aturan tersebut.
Apalagi, kata Palguna, pembentuk undang-undang juga seolah ingin mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman melalui Pasal 23A yang mengatur masa jabatan Hakim Konstitusi selama 10 tahun.
“Kalau Anda enggak baik-baik selama 5 tahun berkuasa menjadi hakim konstitusi itu, walaupun ayat 1 mengatakan masa jabatan 10 tahun, kami mempunyai kewenangan untuk memberhentikan kamu. Kami punya kewenangan untuk menggantikan dengan hakim yang baru. Kan seolah-olah mau mengatakan seperti itu,” singgung Palguna.*
Laporan Syahrul Baihaqi