Banyak Diprotes, Pengamat Justru Puji Permendag Batasi Barang Bawaan Penumpang

FORUM KEADILAN – Kementerian Perdagangan secara resmi telah mengubah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 menjadi Permendag Nomor 3 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Perubahan dilakukan guna membatasi jumlah barang bawaan penumpang yang sampai di Indonesia.
Permendag ini telah berlaku sejak 10 Maret 2024 lalu. Tujuan diberlakukannya, untuk menjaga dan menaikkan penjualan produk-produk lokal.
Menurut Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, terdapat lima jenis barang bawaan dari penumpang yang dibatasi. Diantaranya adalah alat elektronik, alas kaki, tas, barang tekstil, dan sepatu.
Namun sayangnya, hal ini justru menuai banyak protes dari masyarakat, karena dinilai semakin mempersulit penumpang di bea cukai.
Menyoroti hal tersebut, Pengamat Kebijakan Publik dari Institute For Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro mengatakan, sebenarnya Permendag secara teknis memiliki tujuan yang bagus.
“Yakni untuk memproteksi barang dalam negeri, sekaligus mencegah barang masuk secara terselubung melalui penumpang. Tentu saja harapannya dapat pula meningkatkan pendapatan negara dari nilai bea cukai,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 25/3/2024.
Soal adanya protes, menurutnya, hal itu terjadi karena kurangnya sosialisasi ke masyarakat.
“Dalam kebijakan, sering terjadi aspek informasi yang kurang luas. Tak jarang juga selalu terjadi secara tiba-tiba, sehingga menimbulkan berbagai protes dari publik,” ungkapnya.
Untuk itu, ia meminta pemerintah sebaiknya mengembangkan strategi komunikasi kebijakan publik yang lebih baik, untuk setiap program atau kebijakan baru.
“Agar apa? Ya agar meminalisir penolakan publik,” tegasnya.
Selain itu, perlu juga adanya membangunkan tingkat kesadaran publik mengenai aturan membawa barang dari negara lain. Sehingga, pemerintah dan masyarakat memiliki prespektif yang sama dalam melihat regulasi yang berlaku.
Demi memajukan produk lokal indonesia, Riko meminta masyarakat untuk tetap mendukung kebijakan pemerintah tersebut, dan mengurangi penggunaan jasa titip (jastip).
“Kita perlu support kebijakan ini, terlebih hal serupa juga dilakukan di negara-negara lain, bagi penumpang yang datang dari luar negeri. Apalagi jastip kan sudah tidak boleh. Jika ada pun, itu adalah bisnis terselubung,” pungkasnya.
Sementara itu, Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, lumrah jika pemerintah menggunakan instrumen kebijakan fiskal dalam hal ini bea masuk. Hal ini dilakukan untuk berbagai kepentingan, seperti melindungi pasar di dalam negeri.
“Saya kira, kalau melihat dari berbagai poin perubahan di dalam Permendag yang baru, maka terlihat jelas bahwa pemerintah mencoba melindungi proses kompetisi pasar di dalam negeri, dengan melakukan penyesuaian. Termasuk di dalamnya untuk penerapan tarif bea masuk terhadap barang tertentu, yang sebelumnya tidak diatur dalam Permendag,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 25/3.
Ia menjelaskan, usaha peningkatan penjualan produk tergantung pada banyak hal. Artinya, tidak bisa hanya mengandalkan Permendag saja.
“Pertama, seberapa kuat daya beli masyarakat dalam melakukan penyesuaian terhadap barang-barang yang dijual dengan harga tertentu,” ucapnya.
Ia berpandangan, jika asumsinya harga barang yang dikenakan dalam Permendag tersebut tidak berbeda, maka ada peluang masyarakat akan mengalihkan pilihan konsumsi mereka terhadap barang-barang yang diproduksi di dalam negeri.
“Meski demikian, preferensi konsumsi masyarakat untuk produk yang sama yang diproduksi di dalam negeri juga akan tergantung dari kualitas barang tersebut. Artinya, jika masyarakat menilai kualitas barang tersebut relatif sama dengan kualitas barang yang biasanya mereka beli dari luar, maka perubahan preferensi konsumsi sebelumnya itu bisa terjadi,” terangnya.
Akan tetapi, ia melanjutkan jika ternyata masyarakat menilai kualitas barang dalam negeri itu ternyata relatif lebih rendah dibandingkan dengan barang yang mereka biasa beli dari luar negeri, maka mereka akan membatasi konsumsi produk atau barang tersebut.*
Laporan Novia Suhari