Oleh Abdul Fickar Hadjar
Pengamat Hukum Pidana
Pemilihan umum (Pemilu) Presiden Wakil Presiden dan Pemilu legislatif baru saja selesai, meski belum ada hasil perhitungan resmi yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hasil sementara sudah beredar melalui perhitungan mandiri baik yang dilakukan lembaga survei melalui perhitungan cepat yang populer disebut Quick Count. Perhatian masyarakat nampaknya terhadap pemilu Capres lebih besar ketimbang pemilu legislatif, karena itu hasil akhirnya cenderung mendapat tanggapan yang cukup besar.
Terpilihnya capres No.2 dengan angka perolehan yang mencolok perbedaannya dengan Capres No. urut 1 dan 3 ini lah yang memicu pro-kontra, polemic atau apapun namanya yang substansinya perbedaan pendapat, sehingga menimbulkan kecurigaan terjadinya kecurangan. KPU sendiri sudah mengakui ada kesalahan perhitungan pada sistem perekamannya, tetapi juga secara insidentil wujud “kecurangan” itu bias bermacam-macam, misalkan perolehan 88 suara ditulis 588 suara dan seterusnya, tetapi yang menarik juga temuan dari salah satu Tim Sukse Capres yang menyatakan bahwa system KPU sudah dirancang sedemikian rupa untuk memenangkan Capres tertentu. Berdasarkan analisis kajian forensic terhadap server KPU, tim menduga ada algoritma sistem yang sudah disetting untuk pemenangan paslon tertentu. Demikian juga protes yang menyatakan bahwa ada ketidak logisan antara perolehan suara partai pendukung Capres yang paling unggul justru suara capresnya paling buncit.
Bahwa hasil sementara Pemilu Capres ini belum resmi karena belum diumumkan oleh lembaga yang paling bertanggung jawab dalam pemilu yaitu KPU, karena itu apapun hasil yang beredar masih merupakan perhitungan yang dilakukan masyarakat sendiri, namun sejarah perjalanan Pemilu di negeri ini selalu membuktikan bahwa perhitungan cepat masyarakat (quick count) biasanya tidak terlalu jauh perbedaannya alias lebih banyak kesamaannya. Persoalannya adalah apakah hitungan cepat itu yang dapat disalahkan jika hasilnya merugikan Paslon yang lain ? Tentu saja tidak, karena hitung cepat itu hanya mengutip dari hasil perhitungan suara di TPS TPS yang resmi. Karena itu jika dicari “biang keroknya” ada pada tindakan-tindakan atau perbuatan perbuatan yang melahirkan hasil, dan tindakan inilah yang dikualifikasi sebagai kecurangan. Dalam praktek misalnya sebelum waktu pemilihan berlangsung kertas suara sudah tercoblos calon tertentu atau undangan pemilihan sengaja tidak dibagikan dan kertas suara dicoblos sendiri untuk pemenangan calon tertentu.
Aspek Pidana Pemilihan Umum
Tindak pidana pemilu pada dasarnya merupakan bagian dari rezim hukum pidana yang juga disebut perbuatan pidana atau delik. Artinya juga istilah tindak pidana pemilu ini ditujukan bagi tindak pidana yang terjadi dalam kaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum pada semua tahapan. Secara yuridis tindak pidana pemilu itu adalah tindak pidana pelanggaran dan tau kejahatan sebagaimana diatur dalam undang-undang Pemilu (PerMA No. 1 tahun 2018). Beberapa tindak pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, antara lain:
1.Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri Daftar Pemilih
Pasal 488 Undang-undang Pemilu
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain terutang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.
Data diri untuk pengisian daftar pemilih antara lain mengenai nama, tempat dan tanggal lahir, gelar, alamat, jenis kelamin, dan status perkawinan\
- Kepala Desa Menguntungkan atau Merugikan Peserta Pemilu
Pasal 490 Undang-undang Pemilu
Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.
- Mengacaukan, Menghalangi, atau Mengganggu Kampanye Pemilu
Pasal 491 Undang-undang Pemilu
Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.
- Kampanye di Luar Jadwal yang Ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Pasal 492 UU Pemilu
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.
Kampanye pemilu sebagaimana dimaksud berupa iklan media massa cetak, media massa elektronik, internet, dan rapat umum. Kampanye tersebut dilaksanakan selama 21 hari dan berakhir sampai dimulainya masa tenang.
- Melakukan Pelanggaran Larangan Kampanye
Terdapat 10 bentuk larangan bagi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu ketika melakukan kampanye, yang tercantum di dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu yaitu:
- mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaaan UUD 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
- melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI;
- menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain;
- menghasut dan mengadu domba perseorangan atau masyarakat;
- mengganggu ketertiban umum;
- mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu lain;
- merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu;
- menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
- membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; dan
- menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Pasal 280 ayat (2) Undang-undang Pemilu juga melarang beberapa pihak seperti hakim agung dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, aparatur sipil negara, kepala desa dan perangkatnya, anggota TNI/Polri, pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga non struktural untuk ikut sebagai Tim Kampanye atau pelaksana kampanye. Pelanggaran terhadap larangan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.
- Memberikan Keterangan Tidak Benar dalam Laporan Dana Kampanye Pemilu
Pasal 496 Undang-undang Pemilu
Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.
Pasal 497 UU Pemilu
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.
- Menyebabkan Orang Lain Kehilangan Hak Pilihnya
Pasal 510 UU Pemilu
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.
8.Menetapkan Jumlah Surat Suara yang Dicetak Melebihi Jumlah yang Ditentukan
Pasal 514 UU Pemilu
Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp240 juta.
Jumlah surat suara yang seharusnya dicetak adalah jumlah pemilih tetap ditambah dengan 2% dari jumlah pemilih tetap sebagai cadangan. KPU menetapkan besarnya jumlah surat suara untuk pelaksanaan pemungutan ulang sebanyak 1.000 surat suara yang diberi tanda khusus untuk setiap daerah, untuk paslon Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
- Memberikan Suara Lebih dari Satu Kali
Pasal 516 Undang-Undang Pemilu
Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu TPS/ TPSLN atau lebih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 bulan dan denda paling banyak Rp18 juta.
Pengaturan mengenai tindak pidana pemilu ini sangat umum karena hanya mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang karena menghambat dalam tahapan pemilu, pengaturan ini juga tidak secara langsung membidik petugas pemungutan suara (KPPS) yang melakukan kecurangan karena memperbanyak mencoblos suara paslon tertentu misalnya, karena itu secara umum pengaturan tentang perbuatan pidana dalam pemilihan umum ini masih harus banyak disempurnakan.
Praktek kecurangan dalam Pemilu
Beberapa modus kecurangan pada saat pelaksanaan pencoblosan biasanya terjadi antara pemilik suara dengan pihak yang menghendaki suara pemilih, antara modus-modus yang terjadi dilapangan :
- Vote buying atau beli suara
Modus ini sebenarnya modus konvensional, karena selalu terjadi dari pemilu ke pemilu, karena itu dapat dipastikan pada pemilu 2024 ini pun terjadi. Tim Paslon Capres, Calon anggota legislatif biasanya menjanjikan apa yang diistilahkan “uang transport” jika pemilih mencoblos atau memilih sang Paslon, demikian juga dengan bukti foto atau video biasanya akan diberikan lagi tambahan.
Besaran pemberian relative dan bervariasi. Vote buying ini terjadi di semua tingkatan dan biasanya marak di daerah-daerah yang minim pengawasan.
- Menyuap petugas KPPS,m PPS dan PPK
Undang-undang Pemilu menentukan siapa saja petugas penyelenggara pemilu, antara lain KPPS / kelompok pemungutan & penghitungan suara, PPS /panitia pemungutan suara, dan PPK/Panitia pemilihan kecamatan. Petugas penyelenggara ini (KPPS) dengan tugasnya masing-masing melaksanakan pemungutan suara, menghitung dan mengumumkan dan menjaga keutuhan kotak suara yang telah disegel. Sedangkan PPS tugasnya mengawasi dan mengendalikan kegiatan KPPS. PPK kerjanya mengawasi dan mengendalikan kegiatan PPS dan menandatangani berita acara dan sertifikat rekapitulasi perhitungan suara bersama PPK dan saksi peserta pemilu baik paslon capres maupun calon legislatif.
Petugas-petugas inilah yang potensial dan rawan digoda, dimana petugas-petugas ini ditawari uang agar mau mentransfer perolehan suara dari caleg atau paslon yang tidak mempunyai saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Paslon atau Caleg yang tidak mempunyai saksi inilah yang berpotensi mengalami pengurangan atau pengalihan suara ke Paslon atau caleg yang menguasai TPS atau orang-orangnya yang diperkuat dengan pemberian uang. (biasanya jika ketahuan, alasannya kekeliruan dan salah tulis).
- Intimidasi Penyelenggara Pemilu
Dipresdiksi kecurangan yang meningkat setiap periodenya adalah intimidasi oleh aparatur negara kepada penyelenggara pemilu. Biasanya kehadiran aparatur negara dari Kepolisian, TNI maupun aparatur Desa hadir pada saat para penyelenggara pemilu ini menggelar rapat. Seharusnya apparatus ini tidak berada ditempat rapat, mereka bisa memantau kegiatan para penyelenggara pemilu ini melalui CCTV yang terpasang di kantor-kantor KPU di daerah. Demikian juga kehadiran aparatur negara pada TPS-TPS sangat mungkin mendekati pemilih dan secara terselubung agar memilih calon tertentu.
- Indikasi kecurangan informasi Sirekap
Pada pemilu ini (2024) Komisi Pemilihan Umum/KPU menggunakan dan memanfaatkan Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) yang fungsinya membantu sistem rekapitulasi KPU, perhitungan suara berjenjang (kabupaten/kota/provinsi) ke pusat dengan cara memasukan data ke komputer. Sirekap ini juga berfungsi mendokumentasikan hasil pemungutan suara sementara di TPS dan mempublikasikannya kepada masyarakat secara cepat.
Potensi kecurangan itu muncul ketika ada perbedaan jumlah suara antara yang tersimpan dalam system computer dan di formulir C.1, akan membingungkan mana yang akan digunakan sebagai acuan perhitungan keseluruhan.
- Penambahan atau mobilisasi pemilih yang diklaim masuk daftar pemilih khusus
Aturan KPU yang berbeda dengan Undang-Undang Pemilu menjadi celah kecurangan juga. Menurut Undang-Undang Pemilu. Menurut UU Pemilu tanda bukti KTP sebagai pemilik suara hanya dapat digunakan di wilayah domisili saja, sedangkan Surat Edaran KPU pemilik KTP boleh mencoblos meskipun bukan di tempat domisilinya.
- Mencoblos surat suara cadangan
Pada setiap TPS biasanya tersedia surat suara cadangan sejumlah 2% dari jumlah pemilih. Pada pemilu 2019 yang lalu praktek kongkalingkong mencoblos surat suara cadangan ini terjadi dan dirancang secara sengaja, karena itu pelakunya berjamaah baik oleh Tim Paslon, caleg maupun [penyelenggara pemilu.
- Potensi penggelembungan surat suara pada waktu jeda istirahat
Pada waktu istirahat cukup panjang TPS tidak ada yang mengawasi, para saksi pun biasanya lengah, pada jeda waktu ini lah surat suara yang lebih bias dicoblos untuk kepentingan paslon atau caleg tertentu.
Praktek-praktek kecurangan seperti ini lah yang pernah terjadi dan sangat mungkin terjadi pada pemilihan Capres dan legislative tahun 2024 yang baru saja lewat. Sambil menunggu perhitungan yang sah dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga kita nantikan hasil kerja-kerja TIM INVESTIGASI Para Calon Presiden yang merasa dirugikan, semoga akan mendapatkan kecerahan dan kepastian. Semoga!!*