FORUM KEADILAN – Maraknya tawuran di kalangan remaja semakin mengkhawatirkan, seperti yang terjadi baru-baru ini di Jakarta Timur yang menyebabkan tangan salah satu siswa putus akibat sabetan senjata tajam.
Menanggapi peristiwa tersebut, Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarti, mengungkapkan bahwa tawuran di kalangan remaja bisa terjadi karena dilatarbelakangi oleh beberapa alasan dalam lingkup pengasuhan.
Selain pengaruh emosional yang masih belum bisa dikendalikan oleh remaja tersebut, usia 13-17 tahun disebut oleh Retno sebagai usia middle.
“Usia yang tawuran itu biasanya 13-17 tahun, berarti SMP dan SMA kalau psikolog nyebutnya ‘middle’, jadi itu usia pertengahan, masa transisi, sudah bukan anak-anak tapi belum remaja banget juga,” katanya dalam program Polwan (Pola Pikir Wanita) Forum Keadilan TV, Selasa, 30/1/2024.
Menurut Retno, usia middle sangat berbahaya jika tidak mendapatkan pendampingan tepat dari orang tua.
“Jadi di masa itu anak sedang mencari jati diri, terus mau berperan seperti apa, anak itu bingung apa sih kelebihannya,” jelasnya.
Seharusnya, kata Retno, dalam usia ‘middle’, peran orang tua lebih kepada mengarahkan serta mengembangkan potensi anak tersebut.
“Misalnya oh ini anak kayaknya jago olahraga masukin klub olahraga, dan waktu mereka akan habis dengan circle yang mempunyai kesukaan yang sama,” ucapnya.
Retno menjelaskan, anak menjadi pemberontak hingga ingin menyakiti orang lain dengan melakukan tawuran juga bisa dikarenakan oleh trauma kekerasan yang pernah ia dapatkan.
“Anak-anak ini korban kekerasan, akhirnya hal positifnya tidak berkembang, akademiknya juga nggak bagus-bagus amat, yang akhirnya kumpul sama anak-anak yang sama,” katanya.
Menurut Retno, karena pengasuhan negatif dan kurangnya tindakan penuntasan trauma, korban kekerasan yang berkumpul bersama ini akan belajar tentang kekerasan yang lebih dalam lagi.
“Lalu tawuran, biasanya circle ini untuk membuktikan jati dirinya atau eksistensi diri dengan melukai orang lain, ya karena itu yang dia tahu dan alamin,” tuturnya.
Di samping itu, kata Retno, peran sekolah juga sangat penting dalam menangani siswa pelaku tawuran.
Menurut Retno, sekolah sering mengeluarkan pelaku tawuran tanpa mempertimbangkan alasannya. Padahal, Retno berpendapat, sekolah seharusnya melakukan kajian asesmen psikologi terhadap anak tersebut saat terbukti terlibat dalam tawuran.
Bukan tanpa alasan, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru tersebut menilai banyak siswa pelaku tawuran yang melakukannya karena terpaksa atau mendapatkan ancaman dari senior hingga teman mereka.
“Anak-anak ini mestinya tidak dihukum atau dikeluarkan dari sekolah satu dan masuk ke sekolah lain. Lalu bertemu circle yang sama, ya akan tawuran lagi, susah memutusnya,” tegasnya.
Oleh karena itu, Retno menegaskan bahwa peran orang tua hingga guru di sekolah sangat diperlukan dalam meminimalisir terjadinya tawuran.*
Laporan Novia Suhari