FORUM KEADILAN – Kinerja Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang seolah enggan mengungkap dugaan aliran dana asing ke 21 partai politik (parpol) jadi sorotan. Bawaslu dianggap tak ingin bekerja keras dalam mengawasi dana kampanye Pemilu 2024.
Dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2023, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengaku menemukan adanya aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri ke 21 bendahara parpol. Adapun jumlah transaksinya, mencapai 9.164 transaksi.
Terkait temuan itu, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyatakan bahwa pihaknya belum menemukan indikasi tindak pidana. Kalau pun ada, kata Bagja, pihaknya akan berkoordinasi dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Bagja bahkan mempertanyakan sikap PPATK yang menyampaikan temuan itu pada publik. Sebab menurutnya, data yang diberikan PPATK ke Bawaslu merupakan informasi yang bersifat rahasia.
Ia juga menyebut, kewenangan Bawaslu hanya sebatas pada dugaan tindak pidana pemilu. Jadi, kalau PPATK menemukan dugaan tindak pidana lain dalam aliran dana ke parpol, itu bukan ranah Bawaslu.
Melihat respons Bawaslu, Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menyebut kalau Bawaslu terlalu pragmatis dan kurang progresif. Ia menilai, Bawaslu hanya terpaku dengan hal formal, seperti laporan di rekening dana khusus dana kampanye (RKDK) dan laporan dana kampanye yang dibuat peserta pemilu.
“Padahal dana gelap kampanye beredar di rekening dan transaksi yang tidak dilaporkan dalam RKDK ataupun laporan dana kampanye,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Senin 15/1/24.
Aturan terkait larangan penerimaan sumbangan dari pihak asing sudah termaktub pada Pasal 339 ayat 1(a) UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu menjelaskan bahwa peserta pemilu, pelaksana kampanye dan tim kampanye dilarang menerima sumbangan dari pihak asing.
Sementara di ayat 2, disebutkan bahwa peserta pemilu dilarang menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas negara.
Pihak asing yang dimaksud dalam aturan tersebut yaitu warga negara asing, pemerintah asing, atau organisasi kemasyarakatan asing, dan perusahaan di Indonesia yang mayoritas sahamnya dimiliki asing. Titi menerangkan, terdapat sanksi pidana bagi peserta pemilu yang melanggar ketentuan tersebut dan tercantum pada Pasal 528 UU Nomor 7 Tahun 2017
“Peserta pemilu yang melanggar dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda sebanyak 3 kali dari jumlah sumbangan yang diterima,” tuturnya
Selain itu, ucap Titi, terdapat juga larangan bagi partai politik untuk menerima ataupun memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apapun. Hal itu tertuang di Pasal 40 ayat 3 (a) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Pihak asing yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah warga negara asing, pemerintahan asing, atau organisasi kemasyarakatan asing. Sedangkan Pasal 48 ayat 4, mengatur sanksi pidananya.
“Pengurus partai politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda 2 kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya,” ungkap Titi.
Titi menyebut, pengawasan dan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran dana kampanye membutuhkan komitmen dan konsistensi Bawaslu. Apalagi, PPATK telah berani dalam membuka laporan transaksi mencurigakan yang berkaitan dengan dana politik.
Bawaslu, kata dia, harusnya dapat menyusun strategi dan mengawasi kegiatan kampanye para peserta pemilu. Hal itu bisa dilakukan dengan menghitung jumlah biaya yang dikeluarkan, lalu dibandingkan dengan laporan dana kampanye yang telah disusun.
“Saya yakin pasti banyak disparitas atau kesenjangan. Sayangnya, hal itu juga tidak pernah serius dilakukan Bawaslu,” sambungnya.
Titi beranggapan, Bawaslu tidak ingin bekerja keras dalam mengawasi dana kampanye pemilu. Di sisi lain, ia juga melihat bahwa sistem pengaturan dan pengawasan dana kampanye didesain untuk tidak bisa mewujudkan akuntabilitas.
Sementara itu, Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Seira Tamara menyebut, informasi yang disampaikan PPATK harus ditindaklanjuti oleh Bawaslu dan aparat penegak hukum. Ia menegaskan, setiap proses penelusuran informasi itu harus dilakukan secara terbuka.
“Ketika Bawaslu melakukan rangkaian proses klarifikasi, hal itu harus disampaikan ke publik. Tidak bisa hanya sekadar informasi berupa hasilnya saja,” ucap Seira diskusi daring, Selasa 16/1.
Menurut Seira, Bawaslu harus cepat menindaklanjuti temuan PPATK. Apalagi, kata dia, hari pencoblosan sudah tinggal menghitung jari.
“Dari segi waktu, kita sepakat bahwa proses untuk melakukan konfirmasi dan penelusuran memerlukan waktu. Tentunya ini harus dilakukan secara cepat, supaya penerapan sanksinya bisa dilakukan dengan sesuai,” terangnya.
Sebelumnya, Koordinator bidang hukum dan advokasi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Romi Maulana juga menyebut bahwa petunjuk PPATK harus dijadikan informasi awal oleh Bawaslu untuk ditindaklanjuti.
Sebab, temuan PPATK tersebut diduga mengandung unsur pelanggaran pemilu berkaitan dengan pelarangan partai politik dalam menerima pendanaan dari luar negeri.*
Laporan Syahrul Baihaqi