Tinggi Gunung Seribu Janji Tiap Lima Tahun Sekali

Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan dalam acara Debat Pertama Calon Presiden (capres) Pemilu 2024 di kantor KPU Pusat, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 12/12/2023 | Youtube KPU RI
Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan dalam acara Debat Pertama Calon Presiden (capres) Pemilu 2024 di kantor KPU Pusat, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 12/12/2023 | Youtube KPU RI

FORUM KEADILAN – ‘Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati’. Penggalan lirik lagu dari Bob Tutupoly ini jadi gambaran janji politisi setiap menjelang pemilu.

Prabowo Subianto mengatakan, dirinya tak ingin kekayaan Indonesia hanya dinikmati segelintir rakyat. Calon presiden (capres) nomor urut 2 itu yakin, Koalisi Indonesia Maju (KIM) akan membuat rakyat secepatnya menikmati kekayaan Tanah Air.

Bacaan Lainnya

“Seluruh rakyat Indonesia harus dalam waktu secepat-cepatnya menikmati hasil kemerdekaan Indonesia, hasil kekayaan Indonesia, dan kita sudah punya sesuatu peta. Peta pelaksanaan, bukan peta angan-angan bukan peta omong-omong,” kata Prabowo di acara Deklarasi Organisasi Gerakan Muslim Persatuan Indonesia (Gempita) di Bandung, Jawa Barat, Rabu 27/12/2023.

Prabowo kemudian menyinggung soal janji politik lima tahun sekali. Menurutnya, publik harus hati-hati dengan tokoh politik yang obral janji atau omong doang (omdo).

“Kalau orang Indonesia Timur mengatakan omong-omong doang, omdo. Ini repotnya setiap lima tahun, musim politisi, musim obral janji. Tinggi gunung seribu janji, memang lidah tak bertulang. Itu ada lagunya. Ingat nggak lagu itu? Gimana itu? Tinggi gunung seribu janji,” tuturnya.

Namun, Pakar Kebijakan Publik Univesitas Negeri Padang (UNP) Eka Vidia mengatakan, pada hakikatnya politisi memang harus menjual janji. Bukan janji manis atau omdo, janji politisi justru membuat masyarakat bisa mengetahui gagasan dari kepala setiap politisi.

“Semua politisi tentunya harus memberikan janji, dan berbicara apa yang dipikirkan, dan digagas untuk ke depan. Bahaya juga kalau semua politisi tidak membicarakan gagasan di kepalanya,” katanya kepada Forum Keadilan, Kamis, 28/12.

Tetapi menurut Eka, perkataan Prabowo ada benarnya. Apa yang disampaikan Prabowo, tentu juga berlaku untuk dirinya sendiri dan kandidat capres dan calon wakil presiden (cawapres) lainnya.

Seperti apa yang dikatakan Prabowo, kata Eka, rakyat harus bisa melihat mana program yang relevan untuk diwujudkan, dan mana yang hanya akan menjadi angan-angan. Cara membedakannya yaitu, dengan melihat track record (rekam jejak) politisi.

“Bisa dilihat politisi dari track record. kemudian lihat yang dijanjikan itu realistis atau tidak, argumentatif atau tidak, visioner atau tidak,” imbuhnya.

Selain itu, pemilih juga perlu memiliki literasi yang baik. Kalau tidak, akan susah mengukur dan menimbang gagasan ketiga pasangan capres-cawapres tersebut realistis atau tidak.

“Jika masyarakat tidak mempunyai literasi yang baik, maka ia cenderung terombang-ambing dan mengikuti arus umum, ataupun media sosial,” bebernya.

Belakangan ini, baik pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Prabowo-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD telah banyak mengumbar janji dan programnya masing-masing. Lantas, janji siapa yang paling masuk akal?

Eka menjawab, hal itu masih belum bisa dipastikan. Sebab, tak ada argumen yang cukup baik untuk menjelaskannya secara detail.

Misalnya program makan gratis untuk anak dan ibu hamil yang dijanjikan Prabowo-Gibran. Saat ini, masih belum diketahui bagaimana bentuk dan landasan dari program tersebut.

“Kalau soal tanggulangi stunting, itu juga perlu analisa yang dalam. Apakah penyebab stunting itu karena kurang makanan bergizi, atau justru karena perilaku konsumtif yang tidak benar,” jelasnya.

Lalu mengenai program Ganjar, satu keluarga satu sarjana. Eka melihat, sampai hari ini rata-rata masa sekolah masyarakat Indonesia itu masih berada di angka 8,6 tahun, atau sama dengan SMP kelas 2.

Sementara, peningkatannya tiap tahunnya hanya 0,1 tahun. Artinya, untuk lima tahun kedepan rata-rata masa sekolah indonesia itu 9,4 atau SMA kelas 1.

Melihat data itu, Eka kurang setuju. Ia lebih menginginkan pemerintah mengurangi pengangguran di Indonesia. Sebab menurutnya, persoalan bukan ada pada kelulusan sekolah.

“Jika satu keluarga satu sarjana, itu untuk meningkatkan kualitas keluarga. Coba dilihat, sampai saat ini berapa banyak sarjana yang menganggur dan mencari kerja? Bisa saja pertumbuhan ekonomi kita itu tidak membutuhkan sarjana, tapi para vokasi,” paparnya.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah juga sependapat. Menurutnya, program yang diusung oleh Ganjar itu sulit diaplikasikan.

“Kalau satu keluarga satu sarjana itu kan membutuhkan waktu yang lama. Sementara, presiden menjabat hanya 5 tahun. Jadi, yang disampaikan oleh Ganjar itu lebih kepada jangka panjang. Itu tidak mungkin dan sulit,” ungkapnya.

Begitu juga pasangan AMIN yang menjanjikan anggaran dana desa Rp5 miliar. Menurut Trubus, program tersebut juga sulit dilaksanakan.

Kemudian terkait program makan gratis yang disebut Prabowo-Gibran, kata Trubus, hal itu sudah pernah dilakukan di tahun 1970 silam. Tetapi, bantuan berupa makanan dan susu tersebut bersumber dari luar.

“Nah sekarang, kalau program itu anggarannya dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) bagimana? Kalau dari APBN ya sama saja. Artinya, kalau dulu itu murni dari bantuan bank dunia, saat ini dari anggaran APBN. Pasti nanti larinya ke penjualan sumber daya alam yang dieksploitasi, atau justru akan dibebankan pada kenaikan pajak,” singgungnya.

Meskipun program makan gratis juga tidak realistis, tetapi menurut Trubus, lebih mungkin dibandingkan dengan program satu sarjana untuk satu keluarga, atau dana desa Rp5 miliar.*

Laporan Novia Suhari

Pos terkait