FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi yang menginginkan syarat usia minimal untuk calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 40 tahun atau berpengalaman sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur.
Putusan ini merespons Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 terkait pengujian materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang telah diinterpretasikan melalui Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia minimal untuk capres-cawapres.
Putusan perkara Nomor 90 itu menyatakan syarat usia capres-cawapres minimal usia 40 tahun atau pernah dan sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui Pemilu atau Pilkada. Putusan Nomor 90 diketok oleh mantan Ketua MK Anwar Usman.
Ketua MK Suhartoyo mengatakan, mahkamah memiliki kewenangan untuk mengadili permohonan a quo, pemohon memiliki kedudukan hukum yang memungkinkan untuk mengajukan permohonan a quo, permohonan provisi tidak dapat diterima, dan pokok permohonan pemohon tidak beralasan secara hukum secara menyeluruh.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Suhartoyo saat membaca amar putusan di Gedung MKRI, Jakarta Pusat, pada Rabu, 29/11/2023.
Suhartoyo mengatakan bahwa putusan tersebut diputus oleh delapan hakim tanpa Anwar Usman.
Dalam salah satu pertimbangannya, mahkamah menegaskan bahwa putusan Nomor 90 bersifat final dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak dibacakan.
MK disebut sebagai badan peradilan konstitusi yang tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi bahwa adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk “upaya hukum”.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa putusan MK berlaku dan mengikat juga harus dipatuhi oleh semua warga negara termasuk lembaga negara semenjak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum tanpa ada syarat apapun.
Konsekuensi yuridis jika ada subjek hukum atau pihak tertentu yang berpendapat terhadap putusan MK juga ada hal-hal yang masih dirasakan adanya persoalan konstitusionalitas norma terhadap isu konstitusionalitas yang telah diputuskan oleh MK, untuk dapat mengajukan pengujian inkostitusionalitas norma yang dimaksudkan kepada MK.
Upaya tersebut dapat dilakukan sepanjang tidak terhalang oleh ketentuan Pasal 60 Undang-Undang (UU) MK maupun Pasal 78 PMK 2/2021, atau dapat meminta untuk dilakukan legislative review dengan cara memberikan usulan perubahan kepada pembentuk Undang-Undang.
Sebelumnya, permohonan uji materi terkait syarat usia minimal capres-cawapres tersebut diajukan oleh Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Brahma Aryana.
Brahma menginginkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang syarat usia capres-cawapres yang ketentuannya telah ditambahkan lewat putusan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 untuk kembali diubah.
Tuntutan yang telah diajukan adalah syarat usia capres-cawapres bisa di bawah 40 tahun asalkan pernah menjabat kepala daerah di tingkat provinsi, yakni Gubernur atau Wakil Gubernur.
Perkara Nomor 141 itu sebelumnya sudah disidangkan dua kali. Pertama pada 8 November 2023 dan kedua pada 20 November 2023.
Lalu sehari setelahnya, Ketua MK Suhartoyo membawa berkas itu ke RPH agar bisa diproses oleh 8 hakim MK, tanpa Anwar Usman.
Mahasiswa Universitas NU itu mengajukan gugatan ulang dengan harapan yang bisa maju capres-cawapres berusia kurang dari 40 tahun adalah untuk Gubernur saja dan tidak termasuk Bupati/Wali Kota.
Putusan syarat ini begitu menarik perhatian publik karena Hakim Konstitusi Anwar Usman yang pada saat itu masih menjabat sebagai ketua MK merupakan paman dari Wali Kota Solo sekaligus putra sulung dari Presiden Joko Widodo yakni Gibran Rakabuming Raka dan seakan dari putusan tersebut memberikan kemudahan untuk Gibran untuk ikut serta di Pilpres 2024 walaupun usianya belum 40 tahun.
Putusan nomor 90 tersebut begitu mengundang pro dan kontra di lapisan masyarakat, bahkan sejumlah pihak mengajukan protes dan laporan dugaan pelanggaran kode etik kepada Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait putusan itu.
Anwar Usman terbukti melanggar kode etik perilaku hakim dan mendapat hukuman berupa pencopotan jabatan Ketua MK.*