FORUM KEADILAN – Situasi Pilpres 2024 digambarkan layaknya sebuah drama Korea (drakor). Tetapi siapa yang jadi aktor dari drama tersebut, masih diperdebatkan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya di HUT Golkar ke-59 menyebut bahwa terlalu banyak drama yang mewarnai jalannya Pilpres 2024.
“Saya melihat akhir-akhir ini yang kita lihat adalah, terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakor-nya, terlalu banyak sinetronnya, sinetron yang kita lihat,” ujar Jokowi di kantor DPP Golkar, Senin 6/11/2023.
Padahal, menurut Jokowi, pertarungan Pilpres seharusnya diisi dengan gagasan dan ide, bukan pertarungan perasaan. Sebab, kalau yang terjadi pertarungan perasaan, semua bisa repot.
Setelah Jokowi, kini giliran Ganjar Pranowo. Sama halnya Jokowi, Ganjar berpendapat drama-drama Pilpres tak perlu terjadi.
“Drama-drama itu sebetulnya tidak perlu terjadi, dan malam ini seharusnya kita sedang memulai sesuatu perayaan demokrasi melalui pemilu,” kata Ganjar dalam pidatonya usai Pengundian Nomor Urut di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa 14/11.
Lebih lanjut, Ganjar mengaku bahwa dirinya mendengar banyak kegelisahan dari berbagai pihak. Kata Ganjar, demokrasi sekarang belum baik-baik saja.
Untuk itu ia ingin memastikan demokrasi berjalan dengan baik sesuai amanat reformasi dan konstitusi, serta berjalan pada rel dan jauh dari unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Meskipun begitu, Ganjar tidak menyebut demokrasi mana yang tidak berjalan pada rel-nya. Begitu juga dengan Jokowi, ia tidak menyebut secara gamblang siapa-siapa saja pemain dari drama yang dimaksud.
Mengomentari hal itu, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menjelaskan pendapatnya soal drama politik.
“Apa itu drama dalam politik? Kalau dalam teori komunikasi, itulah yang disebut sebagai teori dramatisme. Dalam konteks drama ini ada 3 hal,” kata Emrus kepada Forum Keadilan, Rabu, 15/11.
Pertama, apa yang dibicarakan di ruang publik berbeda dengan apa yang dilakukan di ruang privat, itu namanya drama. Tetapi kalau sama, kata Emrus, berarti itu bukan drama.
Kedua, apa yang dikatakan tidak sejalan dengan apa yang dilakukan. Terakhir, apa yang disampaikan tidak sama dengan apa yang akan dilakukan.
Banyaknya drama politik belakangan kali ini, menurut Emrus, justru ditimbulkan oleh Presiden sendiri. Kata dia, pencalonan anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres), dan beredarnya spanduk yang menunjukan kedekatan antara Jokowi dan Prabowo Subianto, itu juga sebuah drama.
“Itu juga drama. Jadi, saya kira drama itu suatu produk dari komunikasi politik, yang bisa dilakukan oleh siapapun,” singkatnya.
Menurut Emrus, drama ini semakin memanas ketika muncul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetang batas usia calon presiden (capres) dan cawapres. Ia memandang, seharusnya Gibran tidak mengambil celah itu dan bermanuver begitu saja.
“Seharusnya ada penolakan, jangan mau dicalonkan. Karena keputusan MK itu bertabrakan dengan sila ke-5,” tegasnya.
Emrus pun menyayangkan pernyataan Jokowi terkait drakor. Sebab, seharusnya pernyataan seperti itu tidak perlu disampaikan ke publik.
Sementara itu, kubu pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) nampak santai di saat dua kelompok pesaingnya saling lempar isu drakor.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Habib Aboe Bakar Al Habsyi mengatakan, PKS dan koalisnya tidak mau ikut campur dan tetap fokus pada kemenangan.
“Kita tidak boleh jadi penonton. Kita harus jadi pemain. Biar mereka baku tikam dan sebagainya, bukan urusan kita. Tegak lurus aja, pokoknya kita menang aja,” kata Habib di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 15/11.
Kendati begitu, Habib mengaku terusik dengan drama politik belakangan ini. Menurutnya, hal itu seharusnya tidak boleh terjadi karena berbahaya bagi demokrasi.
“Pasti terusik. Artinya hal begitu tidak boleh terjadi. Dalam politik, jangan ada keberpihakan terhadap satu pasangan calon (paslon). Tidak boleh, berbahaya buat demokrasi,” tuturnya.
Drama politik dianggap bagus oleh Habib, karena kubu Anies-Cak Imin tidak ikut di dalamnya.
“Iya biar saja mereka menuding, kalau kita enggak usalah, kita baik-baik sajalah. Tapi kalau berbuat salah, kita ingatkan,” pungkasnya.* (Tim FORUM KEADILAN)