FORUM KEADILAN – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Hiariej sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi. Adanya kasus tersebut, menambah daftar anggota kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tersandung korupsi.
Eddy Hiariej sapaan akrabnya, ia dilaporkan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso terkait permintaan bantuan pengesahan status badan hukum dan konsultasi mengenai hukum pada Maret 2023 lalu.
Dalam laporannnya, Sugeng menyebut adanya dugaan aliran dana senilai Rp7 milar ke Eddy Hiariej, melalui dua orang yang diduga sebagai asisten pribadinya.
KPK belakangan menyebut kalau kasus dugaan gratifikasi tersebut telah naik tahap penyidikan. KPK sudah menetapkan empat tersangka, termasuk Eddy Hiariej.
Namun, kata Koordinator Humas Sekretariat Jenderal Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman, Eddy Hiariej tidak tahu kalau dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sebab, yang bersangkutan sedang tugas di luar kota.
Erif menyebut, dalam menghadapi kasus ini Kemenkumham akan berpegang pada asas praduga tak bersalah.
Lepas dari terbukti atau tidaknya Eddy Hiariej nanti, adanya kasus ini sendiri menambah banyak daftar anggota kabinet Jokowi yang terlibat dugaan korupsi.
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini KPK juga telah menetapkan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka atas dugaan pemerasan dalam jabatan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan).
Menelisik sedikit ke belakang, ada mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate. Ia baru saja divonis 15 tahun penjara dalam kasus korupsi menara BTS 4G yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, 8/11/2023.
Sebelumnya lagi ada mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang juga tersandung kasus korupsi.
Jadi sampai saat ini, sudah tujuh orang dari jajaran menteri Jokowi yang terjerat korupsi. Jumlah ini lebih banyak dari era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati.
Zaman SBY ada lima menteri yang tersandung korupsi. Sedangkan di era Megawati, hanya tiga menteri.
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menjelaskan beberapa faktor yang mungkin menjadi latar belakang penyebab meningkatnya korupsi di kalangan menteri.
“Kalau menilik penyebab banyaknya kasus korupsi para menteri, pertama soal mentalitas yang mungkin ingin kaya dengan cara mengambil uang negara. Tetapi tergantung personalnya, tergantung menterinya juga. Kalau mentalnya sudah korup, menjabat posisi apapun, apalagi menteri ya tetap akan korup,” katanya kepada Forum Keadilan, Jumat, 10/11/2023.
Faktor kedua berasal dari partai politik (parpol). Menurut Ujang, biasanya para menteri dari parpol itu dikejar setoran, dan ditarget.
“Untuk sumbangan ini itu. Partai kan perlu biaya untuk operasional pemenangan pemilu dan sebagainya. Itu kasnya diambil dari para kader yang menjadi menteri. Jadi kalau sudah seperti itu, senang tidak senang, para menteri itu ditugaskan untuk mencari uang untuk kepentingan partai juga,” ujarnya.
Selain penyebabnya karena mentalitas, tekanan partai, kata Ujang, ada juga soal cinta dunia dan takut mati.
“Jadi kalau tidak korup nanti tidak punya uang, dan pensiun dengan tidak nyaman. Jadinya cinta dunia. Karena cinta dunia ini, mereka harus mencari uang untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga dan juga kelompoknya atau partainya,” singgungnya.
Sedangkan, untuk meminimalisir kasus korupsi. Ujang memberikan pilihan untuk membenahi sistem dan memilih mentalitas individu yang baik.
“Yang harus dibenahi itu ada dua sistem, agar tidak ada celah kongkalikong dan KKN. Kedua itu di setiap individunya, dan akar-akarnya tidak melakukan tindakan korup. Jadi harus berkesinambungan. Ada dua variabel antara orang dan sistem yang harus bagus, untuk meminimalisir korupsi,” jelasnya.
Selanjutnya, ia mengungkapkan kalau power sharing kursi jabatan juga ikut andil dalam tindakan korupsi karena berkesinambungan dengan faktor utama sebelumnya.
“Tidak aneh dan tidak heran juga bagi-bagi jabatan, kursi, kekuasaan itu membuat para menteri terjerat kasus korupsi atau bermasalah. Saya setuju dan sepakat, memang sejatinya soal menteri dan wamen itu bagian dari bagi-bagi jabatan, untuk para relawan yang berjasa pada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang menang,” ungkapnya.
Ujang berpendapat, siapapun presidennya, pasti sulit membendung persoalan korupsi di jajaran para menterinya.
“Bisa dibilang korupsi itu sudah menjadi habit, dan sanksinya itu tidak tegas. Dalam artian sanksinya tidak dimiskinkan, jadi tidak ada efek jera,” ujarnya.
Ujang memandang, banyaknya kasus korupsi di kalangan menteri tidak akan berpengaruh terhadap Pilpres 2024. Tetapi, bisa berdampak terhadap kepercayaan masyarakat kepada partai politik.
“Mungkin akan lebih berpengaruh kepada partai yang kadernya tersandung korupsi itu, besar kecil pasti ada dampaknya,” paparnya.* (Tim FORUM KEADILAN)