KPK Cecar Ahok soal Kerugian Keuangan Negara di Kasus Korupsi LNG Pertamina

Gedung KPK | Merinda Faradianti/ForumKeadilan
Gedung KPK | Merinda Faradianti/ForumKeadilan

FORUM KEADILAN – Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi kasus dugaan korupsi liquefied natural gas (LNG) di Pertamina, Selasa, 7/11/2023 kemarin.

Ahok diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan.

Bacaan Lainnya

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menjelaskan, Ahok diperiksa terkait adanya dugaan kerugian keuangan negara dalam pengadaan LNG tersebut.

“Saksi juga dikonfirmasi pengetahuannya terkait adanya dugaan kerugian keuangan negara dalam pengadaan tersebut,” kata Ali Fikri kepada wartawan, Rabu, 8/11.

Selain itu, penyidik KPK juga memeriksa Ahok terkait pengetahuannya tentang awal mula pengadaan LNG di Pertamina.

“Saksi hadir dan didalami pengetahuan saksi antara lain terkait dengan bagaimana rekomendasi awal mula pengadaan liquefied natural gas (LNG) di PT PTMN (Pertamina),” jelas Ali.

Kasus ini berawal ketika Pertamina merencanakan pengadaan LNG di Indonesia pada 2012 sebagai upaya untuk mengatasi defisit gas di Tanah Air. Saat itu, Karen menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina selama periode 2009-2014.

Karen, kala itu, mengusulkan kerja sama dengan beberapa produsen dan pemasok LNG asing, salah satunya adalah perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL), sebuah perusahaan LLC dari Amerika Serikat.

Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan bahwa peran Karen dalam kasus ini telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp2,1 triliun. Karen diduga telah mengambil keputusan secara sepihak tanpa melakukan kajian menyeluruh.

“Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris Pertamina,” jelas Firli.

Keputusan sepihak yang dilakukan Karen, kata Firli, juga dinilai bertentangan dan melawan persetujuan pemerintah saat itu.

“Selain itu pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah tidak dilakukan sama sekali, sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dari persetujuan pemerintah saat itu,” tutur Firli.*

Pos terkait