FORUM KEADILAN – Amnesty International Indonesia (AII) memberikan rapor merah atas situasi hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di tahun kesembilan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka menyebut, Presiden Jokowi telah mengorbankan HAM rakyat kecil demi investasi
“Masyarakat adat dan komunitas lokal digusur demi pemenuhan kepentingan investasi. Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam urusan publik sengaja dibungkam demi kebijakan percepatan investasi,” ucap Direktur Eksekutif AII Usman Hamid dalam keterangan tertulis, dikutip, Minggu, 22/10/2023.
Usman menyoroti program pembangunan dan investasi yang kerap bersinggungan dengan hak asasi. Padahal, kata dia, presiden dalam melakukan pembangunan nasional harus bertujuan untuk memenuhi hak-hak rakyat.
Usman menyorot dua Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mendapat atensi lebih masyarakat. Pertama, konflik Nagari Air Bangis di mana warga menolak rencana PSN kilang minyak dan petrokimia.
“Namun aksi protes itu ditanggapi secara represif dengan pengerahan kekuatan oleh aparat keamanan yang memulangkan secara paksa para pemrotes, disertai penangkapan atas 18 orang warga, mahasiswa, dan aktivis serta intimidasi dan kekerasan atas sedikitnya empat jurnalis peliput aksi,” tuturnya.
Konflik lain yang menjadi sorotan ialah kekerasan yang dilakukan aparat keamanan kepada masyarakat di Pulau Rempang-Galang, Batam, karena penolakan masyarakat terhadap PSN ‘Rempang Eco-City’.
“Kekerasan aparat itu mengakibatkan pada tertangkapnya enam orang warga dan puluhan warga lainnya luka-luka. Bahkan, ratusan murid sekolah harus menyelamatkan diri dari tembakan gas air mata aparat di sekolah,” ujar Usman.
Menurut Usman, kasus Nagari Air Bangis dan Rempang adalah dua contoh praktik kekerasan negara terhadap rakyatnya sendiri.
Selain kekerasan dan penangkapan warga sipil, Amnesty Indonesia juga mencatat adanya serangan secara fisik dan digital kepada aktivis dan kelompok masyarakat adat.
“Kami mencatat bahwa selama Januari 2019 – Mei 2023, ada setidaknya 44 serangan fisik dan digital dengan setidaknya 202 korban pembela HAM lingkungan dan masyarakat adat,” ujar Usman.
Kebebasan Sipil Merosot
Semenjak awal kepemimpinannya, Presiden Jokowi dinilai tidak mampu menjamin kebebasan sipil. Hak atas kebebasan berpendapat, kebebasan pers dan hak untuk berkumpul dan berserikat masih kerap dilanggar.
Pada periode pertama Jokowi, AII mendokumentasikan terdapat 203 kasus pidana terhadap mereka yang mengkritik pejabat publik dan lembaga pemerintah melalui media sosial ataupun aksi massa
“Sejak tahun 2014, pemerintahan Presiden Jokowi ternyata tidak mampu menjamin kebebasan sipil yang semakin tergerus. Tragisnya, tergerusnya kebebasan sipil juga terus berlangsung pada periode kedua pemerintahan Jokowi,” ujar Usman.
Sedangkan pada periode kedua Jokowi, Amnesty International Indonesia mencatat terdapat 328 kasus serangan fisik dan digital terhadap masyarakat dengan 834 korban.
Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih menjadi momok bagi masyarakat dalam mengekspresikan suaranya.
“Regulasi ini sering digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang mengekspresikan haknya,” tutur Usman.
Sejak tahun 2019 sampai 2022, AII mencatat setidaknya 332 orang korban dijerat dengan dugaan melanggar Pasal 27 (1) dan (3) serta Pasal 28 (2) UU ITE.
Penyelesaian Kasus HAM Berat Jalan di Tempat
Menjelang akhir kepemimpinan kedua Jokowi, Usman Hamid menyebut bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masih jalan di tempat.
Di Indonesia terdapat 17 kasus peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014.
Namun, pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar untuk menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu melalui penyelesaian non yudisial. Usman berpendapat bahwa penyelesaian secara non yudisial masih jauh dari kata tuntas bagi korban dan keluarga pelanggaran HAM berat.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat, kata Usman, harus dilakukan secara yudisial. Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, dia mengungkapkan bahwa belum ada tindakan konkret dari Jaksa Agung untuk memajukan kasus-kasus ini ke tahap penyidikan dan penuntutan
“Ke mana perginya amanat konstitusi tentang negara hukum untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu? Budaya impunitas masih dipelihara dan korban pelanggaran HAM beserta keluarganya masih terus menantikan penyelesaian kasus secara berkeadilan,” ujarnya.
Ketidakjelasan dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dinilai AII adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan. Lambatnya proses penegakan hukum mengandung pesan bahwa keadilan begitu sulit terpenuhi.
“Kami mendesak Presiden Jokowi untuk perintahkan Jaksa Agung untuk segera mengambil tindakan konkret dalam mengusut dan menuntut kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Independensi, keadilan, dan akuntabilitas publik harus diutamakan untuk memastikan bahwa pelanggar HAM tidak lepas dari tanggung jawab mereka,” tutur Usman.*
Laporan Syahrul Baihaqi