FORUM KEADILAN – “@poldametrojaya keluarga saya bunuh diri karena tidak mampu membayar di AdaKami. Teror dan cacian hingga menjurus ke pemecatan dari pekerjaan membuatnya makin terpuruk.”
Postingan X tersebut membuat jagat sosial media dipenuhi dengan kabar dugaan tewasnya nasabah pinjaman online (pinjol). Unggahan dari akun @rakyatvspinjol ini menerangkan, nasabah berinisial K bunuh diri usai diteror debt collector karena gagal bayar.
AdaKami selaku fintech yang diduga memberi pinjaman pun angkat bicara. Katanya, mereka sudah melakukan investigasi sejak berita viral itu muncul.
“Kami telah melakukan investigasi awal untuk mencari debitur berinisial K yang marak diberitakan. Namun belum menemukan debitur yang sesuai dengan informasi yang beredar,” ujar Direktur Utama AdaKami Bernardino Moningka Vega Jr dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat 22/9/2023.
Dalam penyelidikan tersebut, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) ikut mengambil peran untuk memastikan kebenaran kabar tersebut.
Polisi belakangan menemukan titik terang terkait kasus ini. Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak mengatakan, pihaknya telah menghubungi admin media sosial X yang mengunggah informasi tersebut.
“Admin mendapat informasi dari teman sepupu korban yang meninggal bunuh diri. Selanjutnya, admin mengupload unggahan tersebut,” ujar Ade Kamis, 21/9.
Ade kemudian menyarankan agar keluarga korban melaporkan kasus tersebut ke kantor polisi terdekat.
AdaKami sendiri merupakan perusahaan sebuah platform peer-to-peer (P2P) lending online. Salah satu pemegang saham dari perusahaan ini disebut-sebut merupakan fintech terkemuka asal China, FinVolution dengan porsi sebesar 80 persen saham.
Ekonom Pergerakan Kedaulatan Rakyat Gede Sandra menjelaskan, P2P berarti debitur atau investornya dapat berasal dari publik. Jadi, perusahaan tersebut hanya menjadi penghubung antara debitur dan kreditur.
“Kalau investornya asing, dengan bunga perusahaan P2P yang sangat besar, akhrinya uang itu larinya ke sumber investasi itu. Misalnya dari luar negeri, kelebihan bunga sangat besar yang dibebankan kepada masyarakat dihisap lari ke luar negeri,” ujar Gede kepada Forum Keadilan, Sabtu, 23/9.
Gede mengatakan, hal itu merugikan rakyat dan negara. Sebab, keberadaan pinjol kerap berakhir dengan membuat sulit.
Seperti yang dikatakan Gede, pinjol sudah banyak menelan korban. Dari tahun 2019 hingga sekarang, setidaknya ada 14 orang yang diduga bunuh diri karena pinjol.
Padahal menurut Gede, fungsi dasar lembaga keuangan ialah untuk meningkatkan kesejahteraan dan membantu rakyat menghadapi masa sulit. Tetapi karena regulasinya sangat rentan untuk ditabrak, pinjol justru mencekik rakyat.
“Ditabrak di sini misalnya soal bunga. Pinjol kan bunganya bervariasi dan banyak bermasalah. Ada yang 1 persen per hari. Jadi untuk mencapai bunga 100 persen, cuma butuh waktu 3 bulan,” imbuhnya
Lebih parah lagi kalau tidak dibayar-bayar. Bisa jadi bunganya berlipat-lipat dan akibatnya nasabah jadi terjerat.
“Selain rakyat jadi miskin, merugikan negara juga karena negara harus memberikan program lebih banyak lagi dan anggaran lebih banyak. Anggaran ini dapat dari mana, ya akhirnya utang ke bank-bank kaya,” tambahnya.
Gede menjelaskan, selain bunga yang besar, biaya admin juga bisa diterapkan pinjol-pinjol nakal untuk merampok nasabah. Untuk itu Gede menyarankan agar dibuat batasan.
“Harus ada batas atas biaya admin. Misalnya maksimal 0,5 persen. Kalau sampai 10 persen ya itu rentenir,” ungkapnya.
Ia melihat, persoalan pinjol bukan cuma soal regulasi tetapi juga penegakan aturan. Negara harus fokus menegakan regulasi.
“Kalau ada regulasi bagus. Tetapi kalau tidak ada penegakan, itu sama saja bohong. Takutnya para pengusaha pinjol-pinjol nakal ini juga bermain dengan aparat penegak hukum,” pungkasnya.*
Laporan Charlie Adolf Lumban Tobing