DPR: Harus Ada Aturan Jelas Jika Skripsi Tak Lagi Wajib

Wakil Komisi X DPR RI Dede Yusuf memberikan keterangan soal penghapusan skripsi sebagai syarat wajib di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis, 31/8/2023 | Ari Kurniansyah/Forum Keadilan
Wakil Komisi X DPR RI Dede Yusuf memberikan keterangan soal penghapusan skripsi sebagai syarat wajib di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis, 31/8/2023 | Ari Kurniansyah/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Komisi X DPR RI setuju skripsi tidak dijadikan syarat kelulusan. Namun, kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) itu harus jelas aturan mainnya.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi Demokrat Dede Yusuf mengatakan, ada beberapa negara yang memang tidak memberlakukan skripsi. Bahkan, beberapa kampus di Indonesia juga sudah tanpa skripsi.

Bacaan Lainnya

Kata Dede, skripsi tidak menjadi syarat wajib, bukan berarti skripsi dihapus. Tidak wajib artinya dapat diganti dengan project base, atau bisa juga melakukan studi magang di industri atau lembaga-lembaga yang sesuai.

“Intinya adalah diganti dengan sesuatu yang bisa menimbulkan potensi siswa dan juga akademiknya teruji,” ujar Dede kepada Forum Keadilan, Kamis, 31/8/2023.

Dede menjelaskan, pada era Artificial Intelligence (AI) seperti sekarang, mudah menulis dengan aplikasi, seperti Chat GPT dan sebagainya. Kemudahan ini cenderung berakhir dengan menggugurkan kewajiban dalam menulis. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dibuat lah kebijakan tak wajib skripsi.

“Beberapa project learning, social experiment, dan lainnya, tentu teruji dan bersertifikasi. Sebetulnya itu melatih mahasiswa terjun ke dalam dunia kerja,” ungkapnya.

Sedangkan, untuk gelar magister dan doktor, menurut Dede baiknya wajib menulis riset dan penelitian.

Akan tetapi, lanjut Dede, kebijakan Mendikbudristek ini juga belum sempurna. Seharusnya, dibuat aturan jelas soal kampus dan prodi apa saja yang dapat memberlakukan aturan ini.

Sebab, kata Dede, ada 4.400 kampus di Indonesia, yang mana kualifikasinya, range-nya sangat berbeda.

“Ada kampus-kampus yang kondisinya sangat memprihatinkan sekali. Mahasiswanya hanya 40 orang. Kampusnya di ruko misalnya. Nah ini mau konsennya apa? Apakah mungkin melakukan project base tadi? Jadi, harus benar-benar diberikan aturan main,” tegasnya.

Kebijakan tersebut sendiri muncul tiba-tiba di tengah masalah kesejahteraan guru dan kurikulum pendidikan yang tidak merata.

Dede menuturkan, penyelesaian masalah kesejahteraan guru dan kurikulum pendidikan merupakan permintaan dari Komisi X. Hingga saat ini, prosesnya masih terus berjalan.

“Semua ini bagian daripada permintaan kami. Kesejahteraan guru salah satunya adalah dengan memberikan kesempatan guru honorer untuk diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN). Dari satu juta kesempatan yang dibuka, 600 ribu guru sudah masuk. Dalam proses berjalan, 400 ribu sisanya dilakukan secara bertahap,” tuturnya.

Begitu juga soal kurikulum, Dede menyarankan untuk tidak ganti menteri ganti kebijakan. Komisi X ingin kurikulum tidak berubah-ubah, tetap fokus dengan target.

Kembali ke soal kebijakan skripsi, kata Dede, kalau tidak melenceng terlalu jauh, Komisi X mendukungnya.

“Kami melihat, kalau tidak melenceng terlalu jauh, kami memberikan support,” tutupnya.

Sependapat, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi Golkar Hetifah Sjaifudian juga menyatakan setuju. Akan tetapi, memang harus dipastikan bahwa mekanisme kelulusan yang dipilih setiap universitas menjamin bahwa mahasiswa memang memenuhi tuntutan kompetensi untuk kelulusan.

“Bukan sembarang menerbitkan ijazah saja,” kata Hetifah kepada Forum Keadilan, Kamis, 31/8.

Hetifah mengatakan, sekitar tahun 1980, saat dirinya masih mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB), tidak harus dengan skripsi untuk menyelesaikan sarjana. Ada yang namanya tugas akhir (TA).

TA bisa berupa macam-macam proyek, dan juga bisa skripsi. Bahkan TA juga bisa dilakukan dalam kelompok.

“Jadi kami di ITB dari dulu tidak pernah pada ngomongin skripsi. Kita obrolannya soal TA,” paparnya.*

Laporan Charlie Adolf Lumban Tobing

Pos terkait