Kejati Sulsel Buru Tersangka Mafia Ganti Rugi Lahan Kabupaten Wajo

ejati Sulsel Buru Tersangka Mafia Ganti Rugi Lahan Kabupaten Wajo
ejati Sulsel Buru Tersangka Mafia Ganti Rugi Lahan Kabupaten Wajo

FORUM KEADILAN – Kasus dugaan mafia tanah pada pembayaran biaya ganti rugi lahan masyarakat untuk kegiatan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan ditingkatkan ke penyidikan.

Kajati Sulses Leonard Ebenezer Simanjuntak kepada Forum Keadilan mengatakan tim penyelidik tindak pidana khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan telah melakukan penyelidikan atas, berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Nomor: Print- 92/P.4/Fd.1/ 01/2023 tanggal 31 Januari 2023.

“Dari hasil penyelidikan, kita telah melakukan ekspose perkara dan Tim Penyelidik Kejaksaan Tinggi SulSel telah menaikkan kasus tersebut ke tahap penyidikan,” tukas Leonard.

Selanjutnya, Kejati Sulsel kata Leonard akan mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan siapa yang bertanggungjawab secara pidana.

Kasus dugaan mafia pembayaran biaya ganti rugi lahan masyarakat di Kabupaten Wajo tersebut terjadi pada pada tahun 2015 dimana ketika itu Balai Besar wilayah sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.

Pembangunan bendungan tersebut berdasarkan Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Paselloreng Kabupaten Wajo yang dikeluarkan Gubernur Sulawesi Selatan.

Dalam prosesnya, pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo memerlukan lahan/tanah yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng dan Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai HPT.

Melalui proses perubahan kawasan hutan dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan, pada tanggal 28 Mei 2019 terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019.

SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu memuat tentang perubahan kawasan Hutan menjadi bukan Hutan Kawasan Hutan seluas 91.337 hektare, serta perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 hektar dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 hektar di Provinsi Sulawesi Selatan.

Setelah dikeluarkan sebagai Kawasan hutan dan mendengar bahwa dalam lokasi tersebut akan dibangun Bendungan Paselloreng, ada oknum yang memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kab.Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada tanggal 15 April 2021,” tutur Leonard.

Sporadik tersebut menurut Leonard kemudian diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselorang dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani, sehingga dengan Sporadik tersebut seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut adalah kawasan hutan.

“Dengan demikian seolah 246 bidang tanah tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh Satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum,” imbuhnya.

Faktanya menurut Leonard, berdasarkan foto citra satelit yang dikeluarkan pada tahun 2015 oleh Badan Informasi Geospasial, kawasan hutan bukan merupakan tanah garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Namun demikian, karena telah dinyatakan memenuhi syarat oleh Satgas A dan Satgas B untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian terhadap 246 bidang tanah tersebut, kemudian dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paselloreng yang selanjutnya  diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik untuk menilai harga tanah dan tanaman serta jenis dan jumlahnya.

“Tapi dalam pelaksanaanya KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman tetapi hanya berdasarkan sampel,” ucap Leonard.

Berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut BBWS Pompengan meminta Lembaga Manajemen Aset Negara Kementerian Keuangan sebagai Lembaga yang membiayai pengadaan tanah tersebut, sehingga LMAN  melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah  seluas  70,958 hektar dengan total pembayaran sebesar Rp75,6 miliar.

Dikarenakan 241 bidang tanah tersebut merupakan ex-Kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan/tanah garapan, maka pembayaran 241 bidang tanah telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75.638.790.623 karena pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan, instansi yang memerlukan tanah cukup mengajukan permohonan pelepasan status kawasan melalui Gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Saya meminta kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini untuk koperatif dan tidak melakukan tindakan yang dapat menghilangkan barang bukti sehingga dapat mempersulit jalannya pemeriksaan,” pungkas Leonard.*