Produk Gagal Warisan Pilkada DKI

Trubus Rahadiansyah
Pengamat Kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah. | ist

FORUM KEADILAN – Program rumah DP Rp0 warisan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terus menuai polemik. Kekinian, terungkap rumah yang sejatinya disasar untuk masyarakat berpenghasilan rendah, justru difungsikan untuk bisnis indekos.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan, program rumah DP Rp0 tersebut memang sejak awal sudah tidak realistis dan tidak jelas konsepnya.

Bacaan Lainnya

Berbagai persoalan timbul sejak dimulainya program. Dari tersangkut kasus korupsi pengadaan lahan, kemudian, komunikasi dan sosialisasi dari Pemprov DKI yang tak efektif sehingga kurang laku, proses yang terlalu birokratis membuat rumit masyarakat, luas rumah yang tidak sesuai ekspektasi, penganggaran, regulasi dan sebagainya.

“Ini kan proyek janji politik, yang dijalankan dengan konsep yang tidak matang dan sangat tidak jelas. Dengan semakin banyaknya fakta terungkap, kan jadi semakin menganga. Semakin terbuka semuanya bahwa ini program yang berantakan,” kata Trubus saat dihubungi Forum Keadilan, Jumat, 23/6/2023.

Ihwal penghuni yang mengubah fungsi rumah menjadi indekos, menurut Trubus hal itu sudah menjadi rahasia umum. Sebab, informasi yang didapatnya, selain banyak dikomersilkan sebagai kos-kosan, rumah DP Rp0 juga ada yang dijadikan lokasi bisnis prostitusi.

Beralih fungsinya rumah tersebut, kata Trubus, tak lepas dari ketidak tepatsasarannya program tersebut. Sejatinya, program itu untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang belum memiliki rumah, seperti yang termaktub pada Pasal 8 Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2020. Namun pada praktiknya, konsep awal itu kian melenceng.

“Sangat tidak tepat sasaran. Karena yang dapat banyaknya bukan masyarakat berpenghasilan rendah. Tapi justru banyak oknum bermain di sana,” kata dia.

Banyaknya alih fungsi rumah program DP Rp0 tersebut juga tak lepas dari kendornya pengawasan dari Pemprov DKI terhadap program berjalan. Sebab, apabila pengawasan berjalan baik, alih fungsi rumah yang menyalahi aturan takkan terjadi, kecuali ada kesepakatan di bawah meja antara oknum Pemprov dengan pemilik rumah.

“Fungsi pengawasannya bagaimana? Kan memang programnya tidak jelas, sehingga pelaksanaannya juga tentu berantakan,” katanya.

Kriteria penerima manfaat program tersebut awalnya adalah masyarakat dengan gaji maksimal Rp7 juta. Namun kemudian berubah, batasan penghasilan tertinggi menjadi Rp14,8 juta. Ketentuan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 588 Tahun 2020.

Naiknya angka tersebut, menurut Pemprov DKI akan memperluas penerima manfaat program. Sebab masyarakat berpenghasilan Rp14,8 juta dianggap merupakan pekerja yang juga membutuhkan hunian di DKI Jakarta.

Belakangan, dengan naiknya angka batas penghasilan tetap itu, membuat kepemilikan rumah tak lagi bagi mereka yang betul-betul membutuhkan hunian.

Banyaknya rumah yang beralih fungsi, mempertontonkan proses awal seleksi pemilik hunian yang tak tepat sasaran. Hunian DP Rp0 kini menjadi obyek investasi.

Program rumah DP Rp0 di mata Trubus, selain disebut produk gagal, juga sebagai bentuk pemborosan anggaran. Kendati pendanaan untuk program hunian DP Rp0 berasal dari pihak eksternal, namun Pemprov DKI menyediakan dana Fasilitas Pembiayaan Perolehan Rumah (FPPR).

Dana FPPR yang ditempatkan di Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) DKI Jakarta merupakan investasi non permanen sebagai bantuan kemudahan kepada penerima manfaat untuk mengakses hunian milik melalui skema perbankan.

Pemprov DKI menyebut, FPPR yang sudah dikelola oleh badan layanan umum Unit Pengelola Dana Perumahan (UPDP) sebesar Rp550 miliar. Sedangkan usulan dana FPPR untuk tahun anggaran 2023 sebesar Rp176 miliar

Dengan menggunakan dana FPPR tersebut, Pemprov DKI membayar lunas rumah kepada pihak pengembang. Kemudian, masyarakat mencicil kepada Pemprov melalui Bank DKI.

Sejauh ini, lanjut Trubus, sudah banyak laporan dari masyarakat terkait program rumah DP Rp0 ke penegak hukum. Namun menurutnya, laporan-laporan itu menguap begitu saja, sebab penegak hukum tak ubahnya bak macam ompong ketika berhadapan dengan Pemprov DKI.

“Banyak laporan masuk, tapi tidak pernah ada yang diproses. Para penegak hukum itu tidak berani memproses kalau untuk urusan DKI. Sama saja KPK juga jadi macan ompong itu kalau urusan DKI,” tandasnya.

Mengingat banyaknya persoalan terkait program tersebut, menurut Trubus, sebaiknya Pemprov mengevaluasi dan mempertimbangkan keberlanjutan program.

Trubus justru menyarankan program rumah DP Rp0 tersebut selain diubah namanya, tetapi konsepnya pun dirubah dan dibongkar habis.

“Mesti dirubah itu konsepnya. Dirubah namanya. Dijadikan saja rumah susun. Jelas ada biaya sewanya,” kata dia.

“Tapi, tinggal berani atau tidak Heru Budi (Pj Gubernur DKI Jakarta) mengubah itu. Karena pasti banyak yang berontak,” lanjut Trubus.

Diketahui, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono telah mengubah nomenklatur atau tata nama menjadi Hunian Terjangkau Milik.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta, Retno Sulistyaningrum mengatakan, perubahan nama ini mempertegas  program tersebut tak hanya menalangi uang muka saja. Melainkan keseluruhan pembiayaan satu unit hunian.

“Tidak hanya berupa kredit DP (Down Payment) sebesar 20 persen, namun dapat diberikan kredit full payment sebesar 100 persen,” bebernya.

Retno meyakini program ini bakal memudahkan masyarakat memperoleh hunian. Terutama masyarakat berpenghasilan menengah.

Sebelumnya diberitakan, beredar video yang memperlihatkan unit rumah DP Rp0 di Menara Samawa, Pondok Kelapa, Jakarta Timur disewakan sebagai indekos.

Menyikapi video viral tersebut, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menegaskan bahwa rumah DP Rp0 dilarang disewakan.

Heru juga mengatakan, pihaknya akan menelusuri kembali aturan peruntukkan rumah DP Rp0, dan menertibkan segala tindakan yang terindikasi menyalahi aturan rumah DP Rp0. *