Jimly Asshiddiqie Tegaskan Hakim PN Jakarta Pusat Layak Dipecat karena tak Mengerti Hukum Pemilu

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. | Ist
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. | Ist

FORUM KEADILAN – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie bereaksi keras atas putusan perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terkait proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024. Putusan perkara perdata ini antara lain meminta penghentian tahapan pemilu yang adalah ranah hukum pemilu dan bukan kewenangan pengadilan perdata.

Jimly menilai, hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memutuskan penundaan pemilu sampai 2025 layak dipecat. Sebab hakim tersebut tidak mengerti urusan hukum pemilu.

Bacaan Lainnya

“Hakimnya layak untuk dipecat karena tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu serta tidak mampu membedakan urusan private (perdata) dengan urusan urusan publik,” kata Jimly, Kamis, 2/3/2023.

Putusan pengadilan, tegas Jimly, seharusnya dilawan dengan upaya hukum berupa banding dan bila perlu sampai kasasi ketika dinilai tidak tepat. Namun, Jimly mengakui harus berkomentar keras atas putusan perdata PN Jakarta Pusat terkait gugatan Prima ini.

“Ini contoh buruk profesionalisme dan penghayatan hakim terhadap peraturan perundangan. MA dan KY harus turun tangan. Ini (hakimnya) pantas dipecat,” tegas Jimly.

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menambahkan, hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Prima soal verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ini mencampuradukkan hukum perdata dan hukum administrasi.

“Ini campur aduk, antara perdata dan masalah administrasi. Hukum administrasi dan tata negara tidak bisa dia bedakan. Juga, soal perbuatan melawan hukum yang harus dipahami benar, (ini) oleh penguasa yang bertindak tidak adil kepada rakyat atau yang biasa. Ini dia tidak memahami,” ujar jimly.

Bahkan, lanjut dia, hakim dalam perkara ini telah ikut campur pada persoalan pemilu yang sama sekali bukan kewenangannya dan bukan urusannya.

“Ketika amar putusannya mengubah jadwal tahapan, yang bisa berdampak ataupun tidak pada penundaan pemilu, (itu) tetap bukan kewenangan pengadilan perdata untuk memutuskannya,” jelasnya.

Jimly menjelaskan, pengadilan perdata harus membatasi diri hanya untuk masalah perdata saja. Sehingga sanksi perdata cukup dengan ganti rugi bukan menunda pemilu yang tegas merupakan kewenangan konstitusional Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Kalau ada sengketa tentang proses maka yang berwenang adalah Bawaslu dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukan pengadilan perdata. Kalau ada sengketa tentang hasil pemilu maka yang berwenang adalah MK. Sebaiknya putusan PN ini diajukan banding dan bila perlu sampai kasasi. Kita tunggu sampai inkrah,” lanjutnya.

Sebelumnya, KPU diperintahkan PN Jakarta Pusat untuk menunda pemilu sampai 2025. Putusan tersebut terkait dengan dikabulkannya gugatan Partai Prima, “Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya,” tulis putusan PN Jakarta Pusat yang dikutip, Kamis, 2/3/2023.

Partai Prima menggugat KPU RI karena merasa dirugikan lantaran dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai calon peserta pemilu.

Hal itu dinyatakan KPU RI saat verifikasi administrasi partai politik yang kemudian ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu yang diterima penggugat pada 15 Oktober 2022 pukul 00.35 WIB yang menyatakan status akhir Penggugat (Partai Rakyat Adil Makmur) Tidak Memenuhi Syarat (TMS).

Putusan tersebut berakibat Penggugat tidak bisa mengikuti tahapan pemilu selanjutnya berupa verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024. Majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam putusannya menerima seluruh gugatan yang dilayangkan Partai Prima.

Berikut isi lengkap putusan PN Jakarta Pusat:

Dalam Eksepsi

– Menolak Eksepsi Tergugat tentang Gugatan Penggugat Kabur/Tidak Jelas (Obscuur Libel):

Dalam Pokok Perkara:

  1. Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya
  2. Menyatakan Penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat:
  3. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum: 4. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah) kepada Penggugat:
  4. Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua).
  5. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta.
  6. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp410.000,00 (Empat Ratus Sepuluh Ribu Rupiah).*

Pos terkait