Minggu, 13 Juli 2025
Menu

Istana Respons Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 98 Tak Ada Bukti

Redaksi
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi Dalam Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan di Forum Keadilan TV, Rabu, 25/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi Dalam Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan di Forum Keadilan TV, Rabu, 25/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan/Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi menanggapi pernyataan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon yang kini menjadi polemik terkait tak adanya pemerkosaan massal selama kerusuhan Mei 1998. Ia meminta agar semua pihak tidak mengambil dengan cepat.

“Jadi kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini mungkin bisa jadi diskusi tapi jangan divonis macam-macam dulu. Lihat saja dulu ya pekerjaan yang sedang dilakukan oleh para ahli sejarah dalam menulis sejarah Indonesia,” ungkap Hasan Nasbi di kantornya, Jakarta, Senin, 16/6/2025.

Hasan pun meminta kepada publik supaya memberikan waktu bagi tim sejarawan bekerja menggarap proyek tersebut. Sejarawan yang menggawangi tim penulisan ulang sejarah ini, kata Hasan, adalah mereka yang mempunyai kredibilitas tinggi.

“Kalau dia mengerti sejarah silakan dialog dengan para ahli sejarah, kalau bukan ahli sejarah ya kita baca sebagai macam bacaan-bacaan saja ya, bacaan di media sosial ya,” tutur dia.

Kritik keras terhadap Fadli Zon ini muncul ketika ia mengatakan bahwa tragedi pemerkosaan massal pada kerusuhan 1998 tidak ada buktinya. Hal tersebut ia ungkapkan dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Fadli Zon sendiri sudah buka suara setelah mendapatkan kecaman dari sejumlah pihak terkait pernyataannya tersebut.

Fadli menghargai banyak pihak peduli terhadap sejarah. Menurut Fadli, tragedi pemerkosaan dan kekerasan massal terhadap perempuan selama kerusuhan Mei ‘98 selama ini banyak silang pendapat.

Ia menjelaskan bahwa hasil investigasi majalah terkemuka belum menemukan fakta yang otoritatif terkait insiden itu dan laporan TGPF yang hanya menyebutkan angka tanpa data pendukung yang solid terutama di nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku.

Fadli mengaku mengutuk berbagai perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan. Ia mengatakan bahwa pernyataannya tidak berarti menegaskan kerugian atau menihilkan penderitaan korban.

“Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” kata dia lewat keterangan tertulis, Senin, 16/6/2025.

Fadli pun membantah telah menyangkal bentuk kekerasan seksual dan mengaku hanya menekankan sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” jelasnya.

Ia juga membantah penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia yang tengah digarap di bawah Kementerian Kebudayaan (Kemenbud).

Fadli menyebut buku penulisan ulang sejarah sebaliknya memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Fadli menambahkan bahwa penulisan hingga Mei 2025, pembahasan mengenai gerakan, kontribusi, peran, dan isu-isu perempuan telah diakomodasi secara substansial dalam struktur narasi sejarah.

Tema-tema yang dibahas mencakup antara lain: kemunculan organisasi-organisasi perempuan pada masa kebangkitan nasional, termasuk Kongres Perempuan 1928 serta peran organisasi perempuan sebagai ormas; kontribusi perempuan dalam perjuangan diplomasi dan militer; dinamika perempuan dari masa ke masa; penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberdayaan dan kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).

“Kami akan melakukan diskusi publik yang terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil,” katanya.*

Laporan oleh: Puspita Candra Dewi