Grup Fantasi Sedarah Rusak Psikologis dan Normalisasi Kekerasan

FORUM KEADILAN – Psikolog sekaligus seksolog Zoya Amirin menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap fenomena grup Fantasi Sedarah yang baru-baru ini menjadi perbincangan publik.
Menurutnya, tren ini sangat problematik dan mengandung potensi bahaya psikologis serta sosial yang serius, terutama karena berisiko menormalisasi kekerasan seksual dalam lingkup keluarga.
“Fantasi sedarah ini sangat concerning dan problematik, karena pada dasarnya ini termasuk insidious sexual abuse, bentuk kekerasan seksual dalam hubungan sedarah, seperti antara orang tua dan anak atau sesama saudara kandung,” katanya kepada Forum Keadilan, Jumat, 23/5/2025.
Ia menjelaskan, korban dari kekerasan semacam ini berisiko mengalami trauma psikologis jangka panjang, termasuk depresi, kecemasan, hingga Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Tak hanya itu, kondisi ini juga dapat mengganggu kemampuan individu dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat di masa depan.
Zoya menyoroti bahwa komunitas yang mewadahi atau menormalisasi fantasi sedarah itu memperburuk keadaan.
“Hal ini membuat korban kesulitan untuk menyadari bahwa mereka menjadi korban kekerasan, dan akhirnya enggan mencari pertolongan,” ujarnya.
Secara budaya, inses adalah hal yang tabu dan dilarang dalam hampir semua masyarakat. Ketika pelaku atau korban terlibat dalam komunitas yang menormalisasi perilaku ini, mereka akan merasa terisolasi dan semakin sulit keluar dari siklus kekerasan.
Zoya menegaskan bahwa meskipun fantasi seksual, secara umum, adalah wilayah khayalan yang terbatas, namun fantasi seksual sedarah tetap mengkhawatirkan.
“Fantasinya sendiri bermasalah karena mencerminkan ketidakwajaran batasan dalam hubungan keluarga,” ucapnya.
Dalam konteks diagnostik, ia menjelaskan bahwa fantasi semata belum bisa dikategorikan sebagai gangguan menurut DSM-5 TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), kecuali jika diwujudkan dalam tindakan nyata.
Jika melibatkan pihak yang tidak mampu memberikan persetujuan, seperti anak, lansia, atau orang dengan gangguan mental, maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan seksual.
Zoya juga menilai pentingnya pendidikan mengenai batasan-batasan sehat dalam keluarga. Ketidakjelasan peran, ruang privat, dan sentuhan dalam keluarga bisa menjadi pemicu berkembangnya fantasi yang menyimpang. Kemiskinan dan kurangnya edukasi juga menjadi faktor yang memperburuk situasi.
“Pelaku kekerasan seksual dalam keluarga sangat mungkin merupakan korban trauma masa lalu yang tidak pernah direhabilitasi dengan baik,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, hukuman terhadap pelaku tidak cukup hanya dengan penjara, tetapi juga harus disertai dengan rehabilitasi psikologis dan psikiatris.
“Kalau tidak, trauma itu akan diwariskan lagi kepada anak-anak mereka. Rehabilitasi bukan soal memaafkan pelaku, tapi mencegah mereka menularkan luka yang belum sembuh,” tutup Zoya.*
Laporan Novia Suhari