Masyarakat Sipil Soroti Pelanggaran Kewenangan TNI dalam Gerebek Peredaran Narkotika

Tentara Nasional Indonesia (TNI) | Dok Kodim 0829
Tentara Nasional Indonesia (TNI) | Dok Kodim 0829

FORUM KEADILAN – Masyarakat sipil menyoroti langkah aparat militer terkait tindakan penggerebakan kasus narkotika yang terjadi di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 1 Mei 2025. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut melampaui kewenangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan berpotensi melanggar hukum.

Penggerebakan ini dilakukan oleh Kodim 1608/Bima melalui Koramil 1608-04/Woha bersama Unit Intel, di mana mereka berhasil menggagalkan peredaran narkoba di kawasan tambak Desa Penapali, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat pada 1 Mei.

Bacaan Lainnya

Penggerebekan ini disebut sebagai respons terhadap laporan masyarakat yang mencurigai adanya aktivitas ilegal di lokasi tersebut. Dalam operasi tersebut, TNI menangkap tiga pelaku berinisial S (26), I (23), dan M (25) dari wilayah Kecamatan Woha.

TNI juga menyita 32 paket sabu dengan total berat 38,68 gram, tiga unit ponsel, lima dompet, beberapa tas berisi alat penggunaan sabu, uang tunai, serta berbagai barang bukti lain, seperti alat isap, timbangan elektrik, alat suntik, dan senjata tajam berupa pipa kaca serta gunting kecil. Para tersangka beserta barang bukti telah diserahkan ke Polres Bima untuk proses hukum lebih lanjut.

Pada waktu yang berbeda, Tim Satgas Narkoba Detasemen Intelijen Kodam XIV Hasanuddin juga melakukan razia narkoba di Kompleks Kusta Jongaya, Jalan Dangko, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (16/2/2025). Sebanyak tiga orang pengedar narkoba ditangkap dalam peristiwa itu.

TNI melalui Tim Intelijen Komando Distrik Militer (Kodim) 0305 Pasaman juga mengamankan tiga orang pengedar narkotika di Kecamatan Ranah Betahan pada Sabtu, 8/3. Tiga orang pengedar itu dibekuk usai mendapatkan banyak laporan dari masyarakat soal peredaran narkotika di daerah tersebut.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur mengecam keras keterlibatan TNI dalam urusan penegakan hukum di kasus narkotika. Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) TNI dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

“TNI sangat tidak berwenang dan tentu sangat bertentangan dengan UU TNI. Penegakan hukum adalah tugas kepolisian, bukan TNI. Ada mekanisme hukum yang berlaku,” ujar Isnur saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 5/5.

Ia menilai, masuknya TNI dalam ranah hukum sipil merupakan pelanggaran hukum serius yang dapat merusak tatanan negara hukum dan prinsip demokrasi.

“Ini merupakan tindakan yang melanggar hukum, tidak berdasar, dan tidak memiliki kewenangan. Jika dibiarkan, ini akan meruntuhkan sistem negara hukum dan prinsip-prinsip konstitusional yang telah dibangun Indonesia,” tegasnya.

Sementara itu, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Girlie Lipsky Aneira Ginting juga menyoroti keterlibatan TNI dalam penggerebekan kasus narkotika. Ia menegaskan bahwa berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kewenangan melakukan penyidikan hanya dimiliki oleh Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

“Kalau merujuk UU Narkotika, yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik Polri dan BNN. Bahkan dalam Pasal 75 ada tindakan-tindakan khusus yang hanya bisa dilakukan oleh BNN,” kata Aneira saat dihuhungi Forum Keadilan, Senin 5/5.

Adapun sejumlah tindakan khusus yang termuat dalam Pasal 75 di antaranya ialah, melakukan penyelidikan atas laporan soal penyalahgunaan dan peredaran narkotika, memeriksa, menggeledah dan menyita barang bukti, menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan peredaran.

Ia mengakui bahwa dalam UU TNI terdapat ketentuan mengenai peran perbantuan TNI dalam penanganan narkotika nasional, sebagaimana tertuang dalam Pasal 47.

Namun, Aneira menekankan bahwa ketentuan itu belum dapat diimplementasikan karena tidak adanya peraturan pelaksana seperti Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur secara teknis peran tersebut.

“Sayangnya sampai saat ini belum ada Perpres atau PP yang menjembatani hal itu. Jadi belum jelas jenis perbantuannya seperti apa. Apakah TNI bisa sampai bertindak sebagai penyidik atau hanya mendampingi dalam operasi tertentu,” jelasnya.

Aneira menyebut bahwa setelah pengesahan UU TNI, sudah terdapat beberapa kasus di mana anggota TNI melakukan penangkapan dalam perkara narkotika. Namun hingga kini belum ada kejelasan apakah tindakan itu dilandasi koordinasi dengan BNN atau kepolisian.

“Kalau mengikuti UU Narkotika saat ini, maka yang berwenang menindaklanjuti laporan tetap hanya Polri dan BNN,” tegasnya.

Forum Keadilan telah berupaya menghubungi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Kristomei Sianturi. Namun, hingga berita ini diturunkan, tidak ada respon dari instansi militer.

Untuk itu, Ketua YLBHI M Isnur meminta Komisi I DPR RI sebagai mitra dan pengawas TNI untuk segera memperingatkan Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan, dan seluruh jajaran di bawahnya agar tidak melakukan operasi di luar kewenangan. Ia juga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil sikap tegas.

“Kita meminta kepada Presiden Prabowo dan Kementerian Pertahanan untuk memerintahkan Panglima TNI dan KASAD untuk menghentikan tindakan seperti ini. Karena ini bukan sekali, sebelumnya juga kejadian di Medan dan Sulawesi. Ini sudah berulang,” ujarnya.

Isnur menambahkan, urusan narkotika adalah kewenangan kepolisian. Jika ada anggota TNI yang terlibat, penanganannya harus dilakukan secara internal sesuai prosedur. Namun, apabila masyarakat terlibat, maka prosedur hukum harus tetap melibatkan pihak kepolisian, bukan intervensi militer.

“Jika ada laporan tentang narkotika, maka anggota TNI harus berkoordinasi dengan kepolisian. Itu adalah tugas mereka dalam konteks negara hukum,” pungkasnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait