FORUM KEADILAN – Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar menjadi tersangka usai menerima uang sejumlah Rp487 juta untuk membuat dan menyebarkan berita negatif yang menyudutkan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada sejumlah perkara.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai bahwa penetapan tersangka tersebut keliru karena pembuatan berita negatif tidak dapat dipidana.
“Tidak bisa itu (dipidana) terlalu jauh dan kabur. Berita itu tinggal dijawab, diluruskan, kalau dianggap tidak lurus, dibenarkan kalau dianggap tidak benar,” kata Fickar saat dihubungi Forum Keadilan, Selasa, 22/4/2025.
Ia menyebut bahwa sudah ada mekanisme yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Pers apabila suatu pemberitaan dianggap merugikan salah satu pihak, yaitu melalui hak jawab.
“Jadi khusus terhadap pemberitaan tidak bisa langsung dilakukan penuntutan, kecuali tidak diberikan hak jawab,” tambahnya.
Namun, apabila Kejagung pernah meminta hak jawab dan media tersebut tidak memberikan jawaban, maka hal tersebut berpotensi bisa dipidanakan.
Fickar menambahkan, apabila media sudah memberikan hak jawab namun tidak digunakan oleh pihak terkait, maka penetapan tersangka terhadap Direktur JAK TV dapat dipermasalahkan melalui praperadilan.
“Ya, bisa dipraperadilkan dan dianggap tidak sah, karena sudah diberikan hak jawab tetapi tidak dipergunakan. Maka, penetapan tersangkanya menjadi tidak sah,” ucapnya.
Atas perbuatannya, Tian Bahtiar dijerat dengan Pasal 21 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Diberitakan sebelumnya, Kejagung menilai terdapat permufakatan jahat antara Marcella Santoso (MS) yang merupakan tersangka suap vonis lepas CPO, Junaedi Saibih (JS) dan Tian Bahtiar karena dianggap merintangi penyidikan dalam penanganan perkara tata niaga komoditas timah, perkara importasi gula dan vonis lepas suap penanganan perkara minyak goreng atau crude palm oil (CPO) melalui pemberitaan negatif.
Kejagung mengungkap bahwa MS dan JS membuat pesanan kepada Tian Bahtiar untuk membuat berita-berita negatif yang menyudukan Kejagung. Berita-berita tersebut lantas diberitakan di sejumlah media sosial dan juga di media JAK TV.
Salah satu contoh berita negatif yang diungkapkan Kejagung ialah pembentukan narasi dan opini positif soal penghitungan kerugian keuangan negara dalam sejumlah perkara.
Sebelumnya, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan tiga majelis hakim yang mengadili perkara tersebut menjadi tersangka setelah diduga menerima suap sebanyak total Rp60 miliar di kasus vonis lepas pada perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO atau minyak goreng.
Adapun para tersangka tersebut ialah, Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanto, serta panitera muda PN Jakarta Utara Jakut Wahyu Gunawan.
Selain itu, Kejagung turut menjerat tiga hakim aktif, yaitu Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto serta dua orang pengacara, yakni Marcella Santoso dan Ariyanto.*
Laporan Syahrul Baihaqi