FORUM KEADILAN – Sejumlah hakim dan panitera pada pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di Jakarta menjadi tersangka usai diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar dalam pemberian vonis lepas pada perkara ekspor crude palm oil (CPO).
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menilai bahwa Indonesia membutuhkan reformasi hukum besar-besaran yang tidak hanya dilakukan okeh Mahkamah Agung (MA), tapi juga dipimpin langsung oleh presiden.
“Yang paling penting ke depan adalah bagaimana mengurangi kultur jual beli putusan. Itu harus diikuti dengan perbaikan pengawasan,” ujar Zaenur kepada Forum Keadilan, Senin, 14/4/2025.
Pegiat antikorupsi itu menekankan pentingnya sistem pengawasan yang lebih kuat di seluruh pengadilan. Ia menyebut bahwa hakim-hakim yang terbukti nakal harus bisa diidentifikasi dan ditindak melalui proses penegakan etika oleh Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung, atasan langsung seperti ketua pengadilan, dan sesama kolega hakim.
“Harus ada insentif, perlindungan, dan penghargaan bagi yang berani melapor. Kalau tidak, siapa pun akan ragu untuk menjadi whistleblower karena risikonya sangat besar,” jelasnya.
Selain itu, untuk meningkatkan risiko bagi pelaku korupsi, Zaenur mengusulkan penguatan instrumen deteksi praktik jual-beli perkara. Salah satunya melalui perbaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang menurutnya selama ini banyak dimanipulasi.
“LHKPN harus real. Banyak koruptor yang hanya melaporkan sebagian hartanya, sementara harta hasil korupsi disembunyikan,” tambahnya.
Zaenur juga mendorong revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 serta kriminalisasi illicit enrichment melalui revisi UU Tipikor dan pengesahan RUU Perampasan Aset.
Ia juga menekankan pentingnya mengesahkan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk mempersempit ruang gerak praktik suap.
“Kalau ada pejabat negara dengan harta yang tidak wajar, mereka harus bisa membuktikan asal-usulnya. Kalau tidak bisa, harta itu harus dirampas negara,” tegasnya.
Di sisi lain, ia pun menyinggung rencana Presiden Prabowo untuk menaikkan gaji hakim sebagai upaya mengurangi korupsi. Zaenur menyambut baik langkah tersebut, namun mengingatkan bahwa itu tidak cukup.
“Itu baru menyelesaikan korupsi karena kebutuhan, tapi tidak menyentuh korupsi karena keserakahan. Faktanya, ada hakim agung dengan gaji ratusan juta yang tetap menerima suap. Ini bukan soal gaji, tapi pengawasan,” ucapnya.
Ia mendorong reformasi menyeluruh terhadap institusi penegak hukum, termasuk perbaikan kesejahteraan bagi jaksa dan penyidik kepolisian.
Selain itu, kata dia, perlu ada revisi terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial (UU KY) agar pengawasan terhadap hakim bisa lebih efektif.
“Saya tidak percaya Mahkamah Agung bisa menyembuhkan penyakitnya sendiri. Reformasi hukum harus menjadi program nasional di bawah kepemimpinan langsung Presiden Prabowo,” katanya.
Sebelumnya, Ketua PN Jakarta Selatan (Jaksel) dan tiga majelis hakim yang mengadili perkara tersebut menjadi tersangka setelah diduga menerima suap sebanyak total Rp60 miliar di kasus vonis lepas pada perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO atau minyak goreng.
Adapun para tersangka tersebut ialah, Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanto, serta panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) Wahyu Gunawan.
Selain itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) turut menjerat tiga hakim aktif, yaitu Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto serta dua orang pengacara, yakni Marcella Santoso dan Ariyanto.*
Laporan Syahrul Baihaqi