FORUM KEADILAN – Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, memenuhi panggilan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina periode 2018-2023.
Dalam kasus tersebut, Ahok yang merupakan Komisaris Utama Pertamina periode 2019-2024 diperiksa sebagai Saksi, pada Kamis, 13/3/2025.
Ahok tiba di kompleks Kejagung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Jaksel), pada pukul 08.36 WIB, lebih cepat dari jadwal yang telah ditentukan sebelumnya. Ahok mengungkapkan bahwa dirinya senang dapat hadir memenuhi panggilan Kejagung.
“Tentu saya sangat senang bisa membantu Kejaksaan. Apa yang saya tahu (mengenai kasus ini) akan saya sampaikan,” ungkap Ahok kepada awak media.
Ia mengatakan bahwa ia membawa sejumlah data yang akan disampaikan kepada penyidik dan salah satunya adalah data dan catatan rapat selama dia menjabat sebagai Komisaris Utama di Pertamina.
“Kalau yang apa yang saya tahu akan saya sampaikan. Data yang kami bawa itu adalah data rapat. Kalau diminta akan saya kasih,” tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, Kejagung telah menetapkan sembilan orang tersangka yang terdiri dari enam pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satunya yaitu Riva Siahaan sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Kejagung mengungkapkan total kerugian kuasa negara dalam perkara korupsi ini yang mencapai Rp193,7 triliun. Rinciannya adalah kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, lalu kemudian Impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.
Di sisi lain, kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp90 triliun; kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
Kejagung menjelaskan sembilan tersangka tersebut bersekongkol untuk melakukan impor minyak mentah tidak sesuai dengn prosedur dan mengolah dengan prosedur yang tidak semestinya.
Perbuatan para tersangka disebut menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.*