Kamis, 19 Juni 2025
Menu

Kejagung Periksa Rumah Riza Chalid di Kasus Korupsi Minyak Mentah

Redaksi
Rumah Riza Chalid yang tengah digeledah Kejaksaan Agung di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 25/2/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Rumah Riza Chalid yang tengah digeledah Kejaksaan Agung di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 25/2/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa rumah pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid pada kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah pada PT Pertamina, subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Penyidikan Kejagung Abdul Qohar di Gedung Kejagung, Selasa, 25/2/2025.

“Satu aja bocoran, ada kita geledah di rumahnya Muhammad Riza Chalid. Hari ini nanti Pak Kapuspenkum (Harli Siregar) yang akan menyampaikan itu,” katanya di Kejagung.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menyebut bahwa penyidik tengah melakukan penggeledahan di dua tempat berbeda sejak pukul 12.00 WIB.

Adapun dua tempat tersebut terletak di lantai 20 Plaza Asia, Jenderal Sudirman dan di Jalan Jenggala 2 Kebayoran Baru yang diduga merupakan rumah Riza Chalid.

Ia membenarkan bahwa lembaganya tengah melakukan penggeledahan di rumah Riza Chalid, di mana kedua anaknya telah ditetapkan sebagai tersangka pada kasus tersebut.

“Jadi kalau rekan-rekan media melakukan apa pengamatan atau mengikuti silahkan itu informasi yang bisa kami sampaikan dan tadi itu rumah siapa sudah disampaikan oleh direktur penyidikan,” katanya.

Ia meminta publik bersabar, karena saat ini penyidik Kejagung tengah mengumpulkan alat bukti.

“Ini kan sedang berproses semuanya akan dimintai keterangan sebagai saksi apabila terkait dengan perkara ini. Penyidik juga sedang mengumpulkan alat bukti apakah memang ada orang lain yang ikut terlibat, tidak terkecuali Muhammad Riza Chalid,” ucapnya.

Sebagai informasi, dalam kasus ini Kejagung menetapkan 7 tersangka karena telah melakukan pemufakatan jahat dan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum.

Adapun mereka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga dan juga Sani Dinar Saifuddin atau (SDS) selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional.

Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional dan Muhammad Kerry Andriantk Riza (MKAR) selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa juga ditetapkan sebagai tersangka.

Adapula Dimas Werhaspati (DW) selaku selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Gading Ramadhan Joedo GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak yang ditetapkan Kejagung sebagai tersangka.

 

Kejagung Tetapkan 7 Tersangka

Kasus ini bermula pada periode 2018-2023 di mana PT Pertamina Patra Niaga seharusnya mencukupi pemenuhan minyak mentah dalam negeri dengan mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. Dalam hal ini, Pertamina harus mencari pasukan minyak dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor bumi.

Namun, Kejagung menemukan fakta bahwa RS, SDS dan AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir untuk menurunkan produksi kilang yang berakibat pada produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya. Hal ini berimbas pada Pertamina dapat melakukan impor untuk memenuhi ketersediaan minyak.

“Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri (ekspor),” kata Qohar, Senin, 24/2 malam.

Kejagung menyebut bahwa harga pembelian impor minyak tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri.

Dalam kasus ini, Kejagung telah memeriksa sebanyak 96 orang saksi dan dua orang ahli. Penyidik Kejagung juga menyita sebanyak 969 dokumen dan menyita sebanyak 45 barang bukti elektronik.

 

Rugikan Rp193,7 triliun, Pertamina Impor Ron 90 Dioplos Jadi Ron 92

Skandal ini mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun akibat praktik ilegal yang dilakukan oleh 7 tersangka, di mana RS selaku Dirut PT Pertamina Patra Niaga melakukan Impor BBM Ron 90 lalu dioplos menjadi Ron 92.

Penyidik Kejagung menemukan adanya pemufakatan jahat (mens rea) antara pejabat negara dan broker minyak sebelum tender dilaksanakan. Dalam hal ini, penyelenggara negara yang ditetapkan sebagai tersangka ialah RS, SDS, AP dan YF. Sedangkan dari pihak broker ialah MK, DW dan GRJ.

Mereka bersepakat untuk memenangkan broker tertentu dengan harga yang telah diatur, sehingga menguntungkan pihak tertentu secara melawan hukum.

Modus yang diungkap Kejagung ialah saat pengaturan tender, tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker dalam tender impor minyak mentah dan produksi kilang secara ilegal.

Setelahnya, DM dan GRJ yang melakukan komunikasi dengan AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) padahal syarat belum terpenuhi. Namun hal itu malah disetujui oleh SDS untuk impor minyak mentah dari RS.

Lalu, RS selaku Dirut Pertamina Patra Niaga justru melakukan pembelian dan pembayaran untuk BBM jenis Ron 92. Faktanya, ia justru membeli jenis Ron 90 lalu dilakukan blending atau pengoplosan agar menjadi Ron 92.

Setelah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang, terdapat mark up pengiriman yang dilakukan oleh YF, sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen.

“Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun, yang bersumber dari beberapa komponen,” kata Qohar.

Adapun berbagai komponen tersebut di antaranya ialah, Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun, Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun, dan Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun.

Selain itu, terdapat pula Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun dan Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.

Atas perbuatan para tersangka, mereka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.*

Laporan Syahrul Baihaqi