Berharap Kepala Daerah Menjadikan Indonesia Terang

Peneliti Kebijakan Publik IDP-LP Riko Noviantoro. I Ist
Peneliti Kebijakan Publik IDP-LP Riko Noviantoro. I Ist

Riko Noviantoro

Peneliti Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnerships (IDP-LP)

Bacaan Lainnya

 

FORUM KEADILAN – “Makan dijanjikan, sekolah dikorbankan, masa depan dihancurkan. Indonesia Gelap“. Kutipan kritik di atas bertebaran di spanduk-spanduk ukuran sedang yang dibawa ribuan mahasiswa dalam aksi #Indonesia Gelap.

Bermodal cat berwarna merah-hitam, tulisan tersebut begitu mudah dibaca, memberi pesan penuh amarah.

Derap kaki ribuan mahasiswa terdengar dari kejauhan, memadati ruas jalan di Jakarta. Langkah tersebut berbaur dengan teriakan lantang bernada sinis, menyindir kebijakan pemerintah yang dinilai amburadul.

Aksi mahasiswa merupakan ekspresi kegelisahan dan amarah yang pastinya mewakili mayoritas kepentingan publik. Suatu keadaan yang mengantarkan kembali pada nasihat Pakar Ilmu Pemerintahan Prof Djohermansah Johan yang mengingatkan pejabat pemerintah untuk tidak memproduksi kegaduhan. Pejabat harusnya memberikan keteduhan melalui kebijakan yang berkeadilan.

Sebagai mantan birokrat, tentu nasehat itu bukanlah lahir secara mudah. Pengalamannya saat berada dalam lingkup pengambil kebijakan menyadarkannya akan konsekuensi besar bagi kehidupan rakyat. Rasanya pula, nasihat tersebut tepat dan bermanfaat.

 

Indonesia Gelap vs Kepuasaan Kinerja

Titik persimpangan yang menarik terjadi. Sekaligus mengejutkan masyarakat, lantaran aksi Indonesia Gelap berlangsung di saat sejumlah lembaga riset memberikan gambaran kepuasan publik terhadap 100 hari kinerja pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Tidak main-main, riset tersebut memberi hasil mengagumkan. Setidaknya tiga lembaga riset menempatkan kepuasan publik terhadap kinerja Prabowo-Gibran di atas presiden sebelumnya. LSI memberi ponten 81,9 persen, Litbang Kompas membandrol nilai 80,9 persen, dan Kedai KOPI memberikan skor 72,5 persen.

Anomali ini seakan memberikan pertanyaan lanjutan. Apakah riset itu tidak memiliki validasi yang memadai? Apakah terjadi penyimpangan praktik riset? Apakah pergeseran emosi publik mudah terjadi? Dari yang awalnya puas, dalam sekejap menjadi tidak puas.

Tentu saja banyak argumen untuk menampik pertanyaan itu. Dengan berbagai pendekatan teoritis bisa dijawab. Apapun itu, realitasnya ribuan mahasiswa di berbagai daerah secara kolektif memiliki cara pandang yang sama terhadap pemerintah Prabowo-Gibran, yakni amburadul.

Singkatnya, narasi Indonesia Gelap merupakan perlawanan kolektif massa terhadap kebijakan pemerintah. Menuntut perubahan arah kebijakan, dengan dalih kebijakan yang diterbitkan tidaklah memenuhi harapan rakyat. Tetapi dengan rumus yang sama, rakyat dinilai puas berdasarkan riset.

Paradoks, sekali lagi paradoks, kata yang sama dituliskan dalam buku berjudul Paradoks Indonesia: Pandangan Strategis Prabowo Subianto karya Prabowo Subianto yang terbit pada 2017. Kemudian, menjadi viral bersamaan pelantikan sebagai Presiden RI.

Buku tersebut menuangkan pemikiran strategis Prabowo Subianto terhadap keadaan Indonesia sepanjang perjalanan sejarahnya. Secara mendalam mengupas ketimpangan di Indonesia. Memotret ragam gejala aneh di tengah kekayaan berlimpah. Sekaligus memberikan rumusan solusinya. Namun sayangnya, seperti layu untuk diimplementasikan.

Pemikiran strategis Prabowo Subianto dalam buku yang dapat menjadi peta jalan bagi Indonesia menuju terang, tidak bernada sama. Kekuasaan yang ada di tanganya sebagai Presiden seakan bernada minor. Jauh dari peta jalan dalam buku Paradoks Indonesia.

Sejak awal pelantikannya, berulang kali ketimpangan pemikiran dan tindakan Prabowo diperlihatkan. Suara lantang melawan koruptor, dalam sekejap berbeda. Tindakannya lebih menyuguhkan hasrat mengampuni koruptor.

Penghormatan pada proses demokrasi yang menjadi ruang keterlibatan berbagai pihak dalam politik nasional, sekejap pula disempitkan. Pemerintah justru terlihat lebih membatasi keterlibatan publik dalam pesta demokrasi. Belum lagi sejumlah aparatur negara yang menyakitkan perasaan publik.

Tentu saja rangkaian itu mendapatkan respon negatif publik. Suara perlawanan pun muncul di media sosial, mulai dari tagar tolak bayar pajak, tagar kabur aja dulu hingga tagar Indonesia Gelap. Semua itu merupakan rangkuman ketidak percayaan terhadap pemerintahan.

 

Berharap pada Kepala Daerah

Tepat 20 Februari, kegelisahan sebagian masyarakat pada pemerintahan yang tak berpihak seakan terobati. Prosesi pelantikan kepala daerah terpilih bagaikan penjernih perasaan. Masyarakat berharap kepala daerah dapat berpihak pada mereka melalui kebijakan yang berkeadilan dan sejahtera.

Harapan itu bukan tanpa alasan. Sebanyak 481 kepala daerah yang dilantik pada tingkat gubernur, bupati dan wali kota adalah orang pilihan bagi rakyat. Mereka sosok yang dianggap paling dekat dengan rakyat lokalnya.

Brian C Smith, dalam bukunya Decentralization: The Territorial Dimension Of The State menyebutkan, model desentralisasi pemerintahan sesungguhnya untuk mendekatkan masyarakat pada pemerintahan. Dengan argumen ilmiah, kedekatan yang erat menghadirkan pemerintahaan berorientasi kepentingan rakyat.

Tidak cukup sampai di siitu, Brian C Smith pun meyakini interaksi mendalam aktor pemerintahan lokal pada masyarakat lokal dapat meningkatkan kesejahteraan. Hal yang menjadi esensial bagi tujuan kegiatan pemerintahan.

Bersandar pada pandangan tersebut, menjadi rasional euforia massa setelah pelantikan kepala daerah. Banjirnya pendukung di kantor kepala daerah memberi makna harapan. Seakan kegelisahan pada pemerintahan pusat, terjawab dengan hadirnya kepala daerah.

Kini tantangan itu ada pada bahu kepala daerah. Target kerja yang tertuang pada visi-misi selama kampanye perlu diwujudkan. Dengan juga melihat berbagai kondisi terbaru. Sehubungan tatanan kehidupan masyarakat saat ini penuh ketidakpastian.

Kepala daerah perlu membuat program prioritas terbaiknya sesuai tantangan daerahnya. Secara umum masalah yang dialami pada aspek iklim usaha, lapangan pekerjaan, pengendalian inflasi, bencana alam, keamanan dan layanan pemerintahan.

Kepala daerah tidak perlu melirik 100 hari kerja. Teruslah bekerja membangun perubahan yang signifikan. Berdialog dan dengarkan suara rakyatnya. Gandeng dan berbaurlah merumuskan program. Sekaligus bekerjalah bersama rakyat. Karena kepala daerah menjadi sandaran rakyat menuju Indonesia terang. Semoga.*

Pos terkait