Pengamat: Bayar Tol Tanpa Berhenti Bukan Solusi Kurangi Lakalantas

Antrean di Tol Jasa Marga imbas kecelakaan beruntun. I Dok. Jasa Marga
Antrean di Tol Jasa Marga imbas kecelakaan beruntun. I Dok. Jasa Marga

FORUM KEADILAN – Pengamat transportasi sekaligus Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai, saran DPR RI untuk sistem pembayaran tol tanpa berhenti menggunakan Radio Frequency Identification (RFID) bukanlah solusi untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas (lakalantas).

“Ini tidak menyelesaikan masalah. Persoalan utama bukan di gerbang tol, tapi di luar itu. Gerbang bisa menggunakan teknologi apa saja, tapi akar masalahnya tetap belum terselesaikan,” katanya kepada Forum Keadilan, Minggu, 9/10/2025.

Bacaan Lainnya

Menurut Djoko, kecelakaan lalu lintas lebih banyak dipicu oleh pengaturan tarif angkutan barang yang masih sangat murah dan tidak seragam. Sistem tarif yang liberal menyebabkan pengemudi truk terpaksa bekerja di bawah tekanan biaya operasional yang tinggi tanpa adanya jaminan keselamatan.

Djoko menjelaskan bahwa Pasal 184 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan tarif angkutan barang berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan. Namun, tanpa regulasi yang ketat, kebijakan ini justru mengorbankan keselamatan di jalan.

“Liberalisasi ini perlu ditinjau ulang dan direvisi. Di negara maju, meskipun mekanisme pasar berjalan, tetap ada standar keselamatan kendaraan dan regulasi pengemudi yang ketat,” jelasnya.

Djoko juga menyoroti maraknya praktik pungutan liar (pungli) serta pembiaran terhadap truk Overload Overdimension (ODOL). Sopir truk yang sudah dibayar dengan tarif rendah masih harus menghadapi pungli dari berbagai pihak di jalan.

“Sudah dibayar murah, masih kena pungli juga. Dari yang berseragam seperti jenderal sampai yang tidak pakai baju, semua ikut bermain. Ini harus segera dibereskan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Djoko menilai bahwa kecelakaan lalu lintas yang terus berulang, seperti tragedi di Gerbang Tol Ciawi yang menewaskan delapan orang, terjadi akibat ketidakseimbangan regulasi. Ia menyayangkan bahwa dalam kasus tersebut hanya pengemudi truk yang dijatuhi hukuman, sementara perusahaan yang menggunakan jasa angkutan tidak ikut bertanggung jawab.

“Ini akibat tidak adanya ketentuan kerja dan upah yang jelas. Harus ada standar upah minimum bagi sopir serta aturan waktu istirahat yang saat ini belum diatur dalam undang-undang,” pungkasnya.*

Laporan Novia Suhari

Pos terkait