FORUM KEADILAN – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik ketentuan baru dalam Tata Tertib (Tatib) DPR RI yang dinilai bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merusak prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Hal ini patut dicurigai sebagai upaya untuk mengacaukan keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara dalam kerangka negara hukum demokratis,” kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur kepada Forum Keadilan, Kamis, 6/2/2025.
Isnur menyebut bahwa tatib baru DPR tersebut berpotensi menyebabkan beberapa masalah, di antaranya ialah melampaui kewenangan pengawasan DPR yang telah diatur dalam Pasal 185 juncto Pasal 190 UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3).
Menurutnya, apabila merujuk pada pasal tersebut, DPR tidak memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi di tengah jalan maupun memberhentikan sejumlah pimpinan lembaga atau pejabat negara yang telah dipilih.
“Menambah kewenangan melalui tata tertib adalah tindakan melampaui kewenangan,” katanya.
Selain itu, kata dia, hal ini juga mengakibatkan ketidakpastian hukum kepada pemegang jabatan negara karena tidak memiliki standar evaluasi yang jelas.
“Tatib DPR juga rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik di DPR RI untuk intervensi kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum,” lanjutnya.
Di sisi lain, Isnur menyebut bahwa kewenangan tambahan dalam tatib DPR mengakibatkan pimpinan lembaga negara kehilangan independensinya.
“Melalui tata tertib barunya, DPR dapat mengintervensi kewenangan lembaga kekuasaan kehakiman yang mestinya independen/merdeka,” tuturnya.
Atas hal tersebut, YLBHI mendesak DPR untuk segera membatalkan ketentuan baru dalam Tata tertib tersebut serta meminta maaf kepada publik.
Isnur juga mengingatkan DPR agar tidak sewenang-wenang dalam menyusun peraturan internal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, prinsip demokrasi, dan negara hukum.
Sebelumnya, DPR merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Hal ini membuat kewenangan DPR bertambah yang dapat mengevaluasi pejabat negara yang telah melalui rangkaian fit and proper test.
Apabila dalam evaluasi tersebut ditemukan pejabat negara yang dianggap tidak bekerja secara optimal, maka DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian terhadap pejabat negara tersebut.
Adapun beberapa pejabat negara yang dapat dievaluasi DPR ialah Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Kapolri, Panglima TNI, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Laporan Syahrul Baihaqi