Pakar HTN Sebut Perubahan Tatib DPR Ancam Prinsip Check and Balances

Ilustrasi Gedung DPR/MPR RI | Ist

FORUM KEADILAN – Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menilai bahwa DPR telah melampaui batas dengan memperluas kewenangannya melalui perubahan Tata Tertib (Tatib).

Menurutnya, perubahan ini justru mengganggu ketertiban ketatanegaraan yang seharusnya berlandaskan prinsip check and balances antar lembaga negara.

Bacaan Lainnya

“DPR kebablasan dalam memperluas kewenangannya melalui perubahan Tatib. Hal ini membuka peluang intervensi yang lebih dalam terhadap independensi lembaga negara lain, terutama di bidang penegakan hukum,” ujar Yance kepada Forum Keadilan, Kamis, 6/2/2025.

Ia menekankan bahwa kewenangan DPR dalam seleksi pimpinan lembaga negara tidak berada dalam kerangka pemberian mandat imperatif yang bisa dicabut sewaktu-waktu.

“Rekomendasi atau keputusan DPR dalam rangka seleksi pimpinan negara bersifat einmalig, sekali setelah itu selesai. Tidak boleh diotak-atik lagi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Yance mengingatkan bahwa praktik intervensi DPR terhadap lembaga independen sudah pernah terjadi sebelumnya, seperti dalam kasus pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto.

Ia khawatir perubahan Tatib DPR ini akan membuka jalan bagi terulangnya praktik serupa di masa depan.

“Perubahan ini berisiko merusak independensi lembaga-lembaga negara yang seharusnya bebas dari intervensi politik DPR,” katanya.

Sebelumnya, DPR merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Hal ini membuat kewenangan DPR bertambah yang dapat mengevaluasi pejabat negara yang telah melalui rangkaian uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).

Apabila dalam evaluasi tersebut ditemukan pejabat negara yang dianggap tidak bekerja secara optimal, maka DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian terhadap pejabat negara tersebut.

Adapun beberapa pejabat negara yang dapat dievaluasi DPR ialah Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Kapolri, Panglima TNI, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait