Warga Gaza Tolak Keras Wacana Donald Trump Terkait Relokasi

Para tahanan Palestina tiba dengan bus setelah dibebaskan dari penjara Israel sebagai bagian dari pertukaran sandera-tahanan dan kesepakatan gencatan senjata di Gaza antara Hamas dan Israel, di Ramallah, Tepi Barat, Senin, 20/1/2025.* | Dok AFP
Para tahanan Palestina tiba dengan bus setelah dibebaskan dari penjara Israel sebagai bagian dari pertukaran sandera-tahanan dan kesepakatan gencatan senjata di Gaza antara Hamas dan Israel, di Ramallah, Tepi Barat, Senin, 20/1/2025.* | Dok AFP

FORUM KEADILAN – Warga Gaza menolak ide Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang ingin merelokasi sementara warga Gaza Palestina.

Dilansir AFP, pada Selasa, 4/2/2025, Hatem Azzam, warga kota Rafah, Gaza Selatan, marah dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyarankan warga Gaza harus pindah ke Mesir atau Yordania.

Bacaan Lainnya

Azzam menegaskan bahwa Gaza bukanlah tumpukan sampah.

“Trump menganggap Gaza adalah tumpukan sampah, sama sekali tidak,” tegas Azzam.

Azzam menilai bahwa Trump sedang berkhayal dan ia mengkritik Donald Trump yang memaksakan Mesir dan Yordania untuk menerima migran.

“(Trump) ingin memaksa Mesir dan Yordania untuk menerima migran, seolah-olah mereka adalah ladang pribadinya,” ujarnya.

Sebagai informasi, Mesir dan Yordania telah menolak dengan tegas mengenai wacana Trump. Hal ini juga disusul dengan warga Gaza dan negara-negara tetangga lainnya.

Diketahui kemarahan Azzam muncul ketika Trump dan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu bertemu di Washington pada Selasa malam dan membahas rencana untuk wilayah Palestina yang porak-poranda akibat perang selama lebih dari 15 bulan.

“Trump dan Netanyahu harus memahami realitas rakyat Palestina dan rakyat Gaza. Ini adalah orang-orang yang berakar kuat di tanah mereka — kami tidak akan pergi,” kata Azzam.

Sementara itu, Ihad Ahmed, warga Rafah lainnya, mengaku menyesalkan mengenai Trump dan Netanyahu masih tak memahami rakyat Palestina dan keterikatan mereka dengan tanah.

“Kami akan tetap berada di tanah ini apa pun yang terjadi. Bahkan jika kami harus tinggal di tenda-tenda dan di jalanan, kami akan tetap berakar di tanah ini,” tegas Ihad Ahmed.

Ahmed kepada AFP mengatakan bahwa warga Palestina telah memetik pelajaran dari perang 1948 yang terjadi seusai mandat Inggris, saat ratusan ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka, saat Israel didirikan, dan tidak pernah diizinkan untuk kembali.

“Dunia harus memahami pesan ini: kami tidak akan pergi, seperti yang terjadi pada tahun 1948,” tuturnya.

Di sisi lain, Raafat Kalon khawatir mengenai konsekuensi pertemuan Trump-Netanyahu terhadap hidupnya dan berharap rencana Trump tidak akan berhasil.

“Saya berharap kunjungan Netanyahu ke Trump akan mencerminkan rencana masa depannya untuk menggusur paksa rakyat Palestina dan menggambar ulang Timur Tengah,” kata Kalon yang berdiri di dekat blok bangunan yang runtuh akibat perang di kota Jabalia, Gaza utara.

“Saya sungguh berharap rencana ini tidak berhasil,” imbuhnya.

Terlihat dari belakang, deretan tenda yang disediakan oleh organisasi amal berjejer di sebidang tanah di kaki bangunan beton yang fasadnya masih memperlihatkan tanda-tanda perang, di mana terdapat lubang peluru, jendela yang hancur, dan fasad yang dilucuti dari lapisan batu.

Di Jabalia dan Gaza Utara, daerah yang paling parah dilanda perang, warga Palestina yang mengungsi dan kembali seusai gencatan senjata berlaku pada 19 Januari telah tinggal di tenda-tenda di samping rumah mereka yang hancur.

Warga bernama Majid al-Zebda optimistis dan juga berharap Trump menekan Netanyahu untuk mengakhiri perang.

“(Trump) akan menekan Netanyahu untuk mengakhiri perang ini secara permanen,” katanya.

Zebda diketahui kehilangan rumahnya dalam perang dan mengatakan baik dirinya maupun warga Gaza tidak akan meninggalkan wilayah pesisir tersebut.

“Kami adalah pemilik tanah ini, kami selalu ada di sini, dan akan selalu ada. Masa depan adalah milik kami,” lanjutnya.

Fase pertama gencatan senjata mengakhiri pertempuran di Gaza dengan rapuh dan memulai proses pertukaran sandera dan tahanan antara Israel dan Hamas, namun negosiasi belum dimulai untuk mengakhiri perang secara permanen.*

Pos terkait